Friday, October 25, 2013

SIDE OF MEMORIES

                            MERPATI  DARI  UTARA   ll


    “Aku menyimpan rindu dihatiku. Aku menyimpan rasa cemas dihatiku. Aku menyimpan rasa risau yang selalu menggoda hatiku. Bahkan ada rasa iri bila ada orang lain yang menyebut namanya. Getaran hatiku yang tak menentu pertanda tumbuhanya benih cinta dihatiku. Ya, ini pasti jatuh cinta. Kegalauan hati semakin hari semakin menjadi. Gejolak hati juga kian meninggi. Degup jantung semakin kencang. Emosi semakin tinggi, dan ah..

Tidak! Kalaupun dihatiku ada cinta, adakah cinta dihatinya. Kalaupun Aku mencemaskanya, adakah rasa cemas untuku. Kalaupun Aku merisaukanya, adakah risau untuku. Kalaupun tumbuh benih cinta, adakah benih yang serupa dihatinya. Dan kalaupun Aku merindukanya, adakah rasa rindu yang sama dihatinya? Tidak! Sekali lagi tidak!
       Aku tersadar dari lamunanku yang kian melangit terbang diatas mega. Aku terbuai akan indahnya paras gadis berwajah utara ini. Aku benar – benar terpikat dan terpesona pada anak kelas satu yang baru saja pindah ke esema negeri paling bonafide di kota Pandaan ini. Jiwaku terus bergolak antara obsesi dan ilusi. Tapi aku masih berutung karena hatiku yang jernih ini bisa menetralisir  dan meredam darah mudaku yang telah mendidih dan membakar seluruh jiwa dan ragaku ini.  Yach, lubuk hatiku yang paling dalam bergumam dengan bijak, untuk apa cemas? untuk apa cemburu? Dan untuk apa menanamkan cinta dalam asmara yang maya?  Toch, hanya sia – sia! Buang – buang waktu dan hanya menyiksa diri!
       Walaupun hasratku kian membara, tapi Aku harus mampu meredamnya. Walaupun keinginanku kian menggebu, tapi Aku harus meredakan dulu.  Dan kalaupun kemauanku kian memuncak, tapi Aku harus mampu mengendalikanya. Walaupun ini merupakan cinta pertama, dan pertama kali Aku jatuh cinta yang tentu amat menyesakan dada, tapi Aku harus berfikir rasional, dan Aku tidak ingin hanya karena cinta, visi yang didoktrinkan oleh ibuku harus kandas gara – gara amoy yang bernama Sao Chun ini. Tidak! Kata hatiku tegas. Apalagi aku sudah kelas tiga.   Aku juga tidak ingin bernasip seperti setangkai bunga mawar yang indah terus layu, kering dan diinjak orang. Aku juga tidak mau menjadi pemeran sandiwara yang tidak berbakat, dan aku juga tidak sudi jadi pelawak yang tidak lucu yang semua itu hanya akan membuat hatiku kusut dan  terjerembab kedalam jurang yang memalukan.                       Yach, masih jelas dipelupuk mataku ini, betapa teman – temanku harus introspeksi diri, mundur dengan teratur, dan harus mengubur dalam – dalam hasrat hatinya untuk jalan bareng bersama gadis keturunan negeri panda ini. Dia tetap tersenyum tapi tak tertaklukan oleh siapapun temanku. Padahal setahuku teman – teman yang naksir Sao Chun pada  memajang fasilitasnya untuk memikat hatinya. Mereka berlomba bersaing ingin mengantarkanya jika  selepas pulang sekolah. Tapi dengan ramah Sao Chun selalu bilang, “terima kasih, mas!” katanya diplomatis. Terakhir aku dengar, Agus dan Bundhi juga menaruh hati tapi mengurungkan niatnya karena Agus ditaksir Athy, anak dari Bandung dan Bundhi kecantol Chomzah, anak Tretes. Dan memang hampir semua temanku yang cowok naksir
gadis ini, tapi mereka harus kandas di tengah jalan.
   Sao chun  bagai bunga teratai yang tumbuh di tengah lautan. Indah dipandang dan tidak mudah disentuh orang. Disana ada badai, gelombang, dan ombak yang dahsyat yang siap menghempaskan siapa saja yang ingin memetik teratai itu. Sedangkan  untuk mencapai dan meraih bunga itu, hanya dibutuhkan sebuah dayung dan sampan yang indah, disertai kesabaran,ketenangan dan keteguhan hati yang kuat, dan tidak dibutuhkan mobil mewah atau jenis kendaraan darat lainya yang hanya akan menjerebabkan semakin dalam bagi pengemudinya. Sao Chun memang rupawan. Matanya indah. Hidungnya mancung. Bibirnya selalu basah kemerah – merahan walaupun tanpa dilapisi lipstik. Rambutnya lurus legam dan panjang, juga senyum indah yang selalu mengembang menghiasi wajahnya semakin membuat detak jantung berdebar kencang bagi cowok yang memandangnya. Apalagi perangainya bagus, tutur katanya sopan, bahkan cenderung bijak dan tegas, semakin melambungkan Sao Chun sebagai gadis idola di sekolah ini.
      Kalaupun Aku selama ini belum mengenal bahkan tidak tahu kalau ada Sao Chun di sekolah ini, karena Aku termasuk cowok yang paling ‘kuper’  atau pasif, dan pula Aku memang sibuk dengan kegiatanku latihan bela diri selepas sekolah sampai sore, atau kalaupun ada waktu luang Aku selalu ke perpustakaan baik di sekolah atau perpustakaan umum untuk berburu buku, sehingga kalau ditanya siapa – siapa saja cewek cantik disekolah ini, jawabku ‘gak eruh blas’ tapi kalau kamu tanya tentang novel, heart of Darkness, Passage to India, Candida, Gulliver’s travels_  dll, atau karya – karya Shakespiere, Hamlet, Otelo, Romeo_dll, juga karya – karya dari penulis lain seperti_ Wild Duck, Arm and the man, The Old Man and The sea_dll yang menurutku sangat bagus sebagai motivator dan inspirator, kamu bisa mengopi di memori otaku. Karena aku punya prinsip ‘ be your mind as garbage’ yang artinya akan kujelaskan episode lain saja karena aku balik ke cerita Sao Chun yang menurutku cukup melekat dihatiku.
       Tapi Aku juga punya alasan kenapa aku ingin dekat Sao Chun, yaitu dia pernah kirim salam lewat Martha, juga Rinda teman sekelasku yang Aku abaikan begitu saja karena Aku belum tahu Sao Chun.  Alasan lain kenapa Aku enggan mendekati Sao Chun.  Pertama_ Aku kuatir kalau Sao Chun sudah menyimpan sebuah nama yang indah yang selalu menyejukan hatinya hingga damai bahagia selalu menyelimuti jiwanya. Kedua_Aku kuatir dia sudah mempunyai calon pilihan yang telah memenuhi kisi – kisi hatinya sehingga tiada lagi celah dihatinya untuk orang lain. Ketiga_ Aku kuatir hatinya telah tertutup bagi siapapun karena bingkai hatinya telah tumbuh dengan indah bunga cinta dari kekasih hatinya. Keempat_Aku kuatir Sao Chun telah berikrar pada sang pangeran tambatan hatinya, sehingga dia memegang teguh komitmen dan janji cintanya sehingga tidak mau berpaling kasih darinya. Kalau dugaanku benar, Aku bangga dan apresiatif pada dia, karena dia mampu menjaga komitmen dan punya integritas, walaupun Aku sebenarnya juga menaruh hati padanya. Tapi kalau masih single, tidak ada satupunkah diantara cowok di es-em- a ini yang mampu menggetarkan hatinya? Ah...pusing!

      Yang jelas saat ini hatiku amat kacau dan penasaran yang pangkal ujungnya juga karena Sao Chun. Betulkah kata Martha dan Rinda Sao Chun beberapa kali kirim salam buatku? Atau tidak benarkah?  Ya kalau benar, kalau tidak! Ah... semakin risau aku!
      Boleh jadi teman – temanku itu hanya memberikan motivasi agar aku bisa ikut bersaing untuk mendapat cinta Sao chun. Mungkin merekapun turut bangga jika Aku bisa jalan bareng bersama Sao Chun, atau mereka berharap agar Aku bernasip sama seperti teman sekelasku, Ramly, Andry, Zein, dan Endra. Tapi Aku tidak boleh su’udzon pada mereka.Sebab mereka juga teman baiku. Namun terlepas dari itu semua, Aku harus menggiring obsesiku yang telah membakar darah mudaku untuk mendekati Sao Chun. Aku tidak mungkin mengendorkan nyaliku yang telah membara untuk memetik teratai indah yang bernama Sao Chun. Aku tidak mungkin menyusutkan langkahku yang kian pasti untuk berlabuh guna mengarungi sebuah cinta dari seorang Amoy. Kobarkan obsesi, teguhkan hati, satukan visi, dan tak mungkin Aku berhenti sampai disini sebelum mendapatkan cinta sejati dari seorang Amoy yang benar – benar memikat hatiku ini. Mustahil cinta yang telah berkobar dihatiku ini bisa Aku padamkan. Tidak! Kata hatiku tegas.
      Seperti biasa jam tujuh kurang lima menit Aku sampai di sekolah naik sepeda motor. Aku memang berangkat tepat waktu karena  kostku dekat dengan sekolah. Menjelang parkir Aku melirik mobil Sao Chun sudah diparkir. Berarti dia sudah masuk.  sebelum meninggalkan parkir, Aku merapikan dulu rambutku dengan kaca spion sepedaku. Yach, hari ini Aku harus menemui Sao Chun. Aku sudah tidak betah rasanya menanggung gejolak hati yang teramat. Tapi kenapa ya,  debar jantungku koq tidak teratur? Ah, biarlah! Normal! Cinta pertama! Kamu pernah kan?
   “Mas......!” Terdengar lembut suara memanggilku dari belakang. Namun teramat jelas ditelingaku, itu pasti suara perempuan. Dan akupun menoleh “Astaga....!” Pekiku dalam hati. Mataku nenar. Otot  dan nadiku melemah serasa kesemutan.  Serta kurasakan keringat dingin mengucur deras diseluruh tubuhku. Terperanga!
      Kiranya didepanku telah berdiri seorang Amoy dengan senyum indahnya. Rupanya Sao Chun belum ke kelasnya, mungkin menungguku kerena tidak ada orang lain ditempat parkir itu kecuali Cak Toyo, tukang kebun. Tapi tidak mungkin menemui dia. Cak Toyo hitam. Rambutnya kriting lagi. Lagipula untuk apa!? Tapi mengertikah dia kalau Aku selalu gelisah karenanya? Mau tahukah dia kalau Aku mencemburuinya? Dan sadarkah dia kalau Aku merindukanya? Tanyaku dalam hati. Berkali – kali hatiku menyerukan untuk menyatakanya, berkali itu pula bibirku kelu tak mampu berkata tentang cinta. Bibirku terasa beku dan terkunci, bahkan serasa
Tersihir bila Aku berhadapan dengan Sao Chun. Mungkin terlalu menggebunya cintaku pada gadis ini,
Atau Sao chun terlalu kuat mengikat hatiku. Ah kacau...!
       Aku mencoba mengontrol diri dan berpesan pada hatiku agar tidak terlalu gelisah bila bercengkrama dengan  Sao Chun, biar tidak ketauhan ngebetnya. Isin! Lantas Aku turun dari sepedaku dan menghampirinya.
      “Kamu Sao Chun, ya?” Tanyaku pura – pura tidak tahu.
“Ya, mas!” Jawabnya pelan. Rupanya dia juga malu. Itu bisa aku lihat saat bicara bibirnya nampak terkatup, yang berarti juga malu. Malu sama malu berarti tidak tahu. Dan ah...gelisah hatiku mulai perlahan lenyap melihat Sao Chun juga gundah.
      “Koq tumben  jam segini belum masuk?”
“Nunggu, Mas!”  Jawabnya polos.  Ha...!Nunggu Aku! Benarkah? Atau gak salah dengarkah daun telingaku.. Ah, diriku serasa melayang diatas awan. Hatiku bagai tersirami nurani embun pagi hingga terasa damai bahagia menyelimuti sekujur tubuhku. Otot – otoku tidak lagi tegang, darahku juga tidak lagi terasa mendidih, dan pokoknya hatiku terasa tentram.
     Lantas kami  berdua meninggalkan parkir jalan bareng menuju kelas. Sao Chun kulirik nampak riang terlihat dari kedua sorot matanya yang sipit itu nampak ada rembulan yang bersinar disana. Rambutnya melambai – lambai diterpa angin semakin nampak indah gadis ini. Sesekali tanganya yang kiri membenahi letak tas ransel warna pink yang menggelantung di pundaknya. Dan pyaar....rasa jantung hatiku saat kami  sedang beradu pandang. Saat aku melirik dan Sao Chun juga meliriku, hati terasa berdebar tapi senang, senang tapi berdebar, ah embuh wis!             Sementara disetiap sudut dan depan ruang kelas ratusan pasang mata menyaksikan aku dan Sao Chun jalan bareng. Mereka sepertinya heran karena selama ini aku tidak pernah sekalipun tahu yang namanya Sao Chun. Karena sekali lagi aku memang pasif banget pada cewek. Dan even ini  tentu dengan sekejap pasti menimbulkan gosip baru di sekolah ini yang objeknya tentu Aku dan Sao Chun. Tapi Aku dan sao Chun tetap dengan tegap dan tenang, melangkahkan kaki kedepan tanpa menoleh kekanan atau kekiri yang hanya membuat perasaan bimbang tidak tenang dan tentu tidak pasti dalam menikmati anugrah cinta yang amat indah ini. Ciptakan visi, kobarkan obsesi! Tekat hatiku.
     Hari itu saptu. Aku lihat jadwal yang jaga koperasi Sao Chun, sehingga timbul keinginanku untuk menemuinya. Lagipula pelajaranku PKN paling nyatet nanti bisa pinjam teman. Akupun bergegas melangkahkan kakiku kesana. Tahu yang datang aku, Sao Chun mengembangkan senyumnya yang menghiasi wajahnya yang berarti senang. Dan wajahnya nampak berseri – seri melihatku. Lantas dia buru- buru duduk dan meraih majalah gadis terbitan ibukota.Tanganya membolak – balikan majalah itu tapi tidak dibaca. Kemudian Aku minta ijin masuk dengan isyarat telunjuk jariku dari kaca jendela, dia mengangguk berarti boleh. Aku langsung masuk dan duduk tepat dihadapanya yang hanya bersebelahan dengan meja. Aku sudah
mampu menguasai diriku dihadapan Sao Chun, tenang. Begitu juga Sao Chun, dia
nampak lebih nyantai.
 “Koq tumben mas, nggak masuk?”  Tanya Sao Chun memulai pembicaraan.
       “Masuk, cuman nyatet” Jawabku.
 “O...ya, mas sibuk banget ta?
       “Kenapa, Chun?” tanyaku antusias.
 “Ya...koq nggak pernah jawab salamku!”
       “Emang kamu  pernah kirim salam untuku?” Tanyaku pura – pura tidak tahu.
 Sebab Aku memang tidak mau GE—ER dulu mengingat teman-temanku satu persatu harus kandas secara mengenaskan tertelan ombak dan dihantam badai di tengah laut untuk meraih teratai indah yang bernama Sao Chun ini. Lagipula teman-temanku memang over acting dan menyamaratakan dia seperti gadis-gadis lain, tapi Sao Chun tidak seperti itu menurut hatiku. Dan kenyataanya memang demikian.
       “Kirim salam lewat sapa, Chun?
“Teman mas, Mbak Martha, juga Mbak Rinda!”
       “O...iya Chun! Aku lupa. Lagipula aku kan belum tahu kamu!” kataku menggoda.
“Kalau udah tahu, gimana?” tanyanya spontan.  aku tidak bisa menjawab tapi lubuk hatiku mengatakan disana pasti ada taman yang masih luang, ya taman itu tempat bersemainya cinta dan Aku harus menamkan benih cinta yang masih putih ini di relung hatinya. Ah... riang banget hatiku dihadapan Sao Chun ini.
“Mas kalau saptu mesti pulang, ya?!” Tanyanya ringan.
       “Iya. Sebab teman-temanku kalau hari Saptu pada sibuk dengan pacarnya masing-masing. Terus kalau Aku nggak pulang, apa aku harus manghitung bulan dan bintang seorang diri?” Kataku balik bertanya.
       “Ya kalau kamu enak, Chun!” Kataku lagi.
“Apanya yang enak, mas?” Tanyanya antusias.
       “Ya, kalau hari Saptu kayak gini, kamu kan enak nunggu pacar dirumah! Terus jalan-jalan sama pacar. Lantas makan bareng sama pacar. Pikiran jadi fresh, asyik lagi!
       “Betul kan, Chun?” Tanyaku menggoda. Sao Chun tidak menjawab. Matanya tajam menatapku. Bibirnya digigit ditarik kekanan dan kekiri, seperti ingin mengungkapkan kekesalanya padaku. Dari pandang matanya pula kulihat sejuta mistery yang terkandung didalamnya yang tak terucap dari bibirnya. Disitu juga nampak rasa jengkel, galau, atau bahkan mungkin terselip rasa rindu untuku. Ah....GE-ER Aku.
       “Lho, ditanya koq malah ngelamun?” Tanyaku menggoda.
“Tidak Mas! Aku belum punya pacar!” Jawabnya tegas.
       “Tidak disini, di rumah udah ada janji!. Tidak dibibir, dihati udah ada yang nunggu! Betul kan Chun!?” Godaku terus. “Lagipula Chun, wanita itu kan pembimbang. Lain dibibir, lain pula dihati.
Kadang bibirnya tidak tapi hatinya mau. Kadang pula  hatinya tidak tapi bibirnya mau. Tapi kalau bibir dan hati sejalan, nah itu baru asyik!” Kataku terus nerocos. Dan Sao Chun terus terdiam, membisu. Mendengarkan bibirku yang terus ngoceh. Kedua tanganya terus membolak-balikan majalah nggak karuan. Matanya semakin tajam menatapku hingga terasa menyusup ulu hatiku. Bibirnya berkali-kali mencep mendengarkan kata-kata yang kuucapkan, yang membuat hatinya tergelitik, tergoda, dan ah... tersipu. Itu bisa aku lihat dari pandang matanya, dan jari-                                                                                                                                                              
jari - dari kedua tanganya yang ingin banget mencubitku, memukulku, biar kapok. Dan bukan tidak mungkin dia juga pingin....!? Hehehe...!?
       “Chun....!” Panggilku.
 “Ya....Mas! Jawabnya pelan. Dan matanya masih deras menatapku.
       “Kau baik, Chun!,Kamu cantik!, Aku suka...,aku sayang kamu!” Kataku bersungguh-sungguh. Dan tanganku tanpa kusadari meraih tangan Sao Chun. Tanganku terus membelai tangan Sao Chun. Sementara itu Sao Chun hanya mematung, terdiam. Bibirnya tergetar dan terkatup. Kedua kelopak matanya yang teduh, bening, dan selalu bersinar  itu, berubah menjadi mendung, keruh, dan berkaca- kaca dan buliran air matanya mulai merembes dipipinya. Segera Sao Chun mengusapnya dengan sapu tangan yang dia ambil dari saku bajunya.
       “Chun, maafkan Aku! Mungkin kata-kataku telah membuat hatimu resah, ataupun risau. Tapi itulah kata hatiku yang selama ini membuat jiwaku mencekam karena merindukanmu.” Kataku sambil kupandang wajahnya.
 “Tidak Mas!. Aku senang.Aku senang sekali mendengarnya!.”  Jawabnya dengan suara yang lembut dan agak parau. Matanya masih nampak berkaca tapi terus dengan seksama memandagiku, pipinya juga masih memerah. Dari pandang matanya yang teduh itu pula Aku temukan ketentraman jiwaku dan kedamaian hatiku. Ingin sekali Aku berteduh dan bercengkrama disana untuk meraih dan menghabiskan ilusi dan obsesiku bersama merpatiku yang tak pernah ingkar janji ini. *** “We just hoping, God determining. We just preparing, God deciding, We just starting, God finishing, but we must be setting by creating the best for reaching our future life. C...U...in next episode...B
Ahmad Murjoko, pendidik di SMA Negeri dan Swasta di Mojokerto                                                                                                                                                                                                                                                   

0 comments:

Post a Comment

 
Design by http://4-jie.blogspot.com/ | Bloggerized by Fajri Alhadi