MERPATI DARI UTARA ll
“Aku menyimpan rindu dihatiku. Aku menyimpan
rasa cemas dihatiku. Aku menyimpan rasa risau yang selalu menggoda hatiku. Bahkan ada rasa iri bila
ada orang lain yang menyebut namanya. Getaran hatiku yang tak menentu pertanda
tumbuhanya benih cinta dihatiku. Ya, ini pasti jatuh cinta. Kegalauan hati
semakin hari semakin menjadi. Gejolak hati juga kian meninggi. Degup jantung
semakin kencang. Emosi semakin tinggi, dan ah..
Tidak! Kalaupun dihatiku ada cinta, adakah cinta dihatinya. Kalaupun Aku mencemaskanya, adakah rasa cemas untuku. Kalaupun Aku merisaukanya, adakah risau untuku. Kalaupun tumbuh benih cinta, adakah benih yang serupa dihatinya. Dan kalaupun Aku merindukanya, adakah rasa rindu yang sama dihatinya? Tidak! Sekali lagi tidak!
Aku tersadar dari lamunanku yang kian
melangit terbang diatas mega. Aku terbuai akan indahnya paras gadis berwajah
utara ini. Aku benar – benar terpikat dan terpesona pada anak kelas satu yang
baru saja pindah ke esema negeri paling bonafide di kota Pandaan ini. Jiwaku
terus bergolak antara obsesi dan ilusi. Tapi aku masih berutung karena hatiku
yang jernih ini bisa menetralisir dan
meredam darah mudaku yang telah mendidih dan membakar seluruh jiwa dan ragaku
ini. Yach, lubuk hatiku yang paling
dalam bergumam dengan bijak, untuk apa cemas? untuk apa cemburu? Dan untuk apa
menanamkan cinta dalam asmara yang maya?
Toch, hanya sia – sia! Buang – buang waktu dan hanya menyiksa diri!
Walaupun hasratku kian membara, tapi Aku
harus mampu meredamnya. Walaupun keinginanku kian menggebu, tapi Aku harus
meredakan dulu. Dan kalaupun kemauanku
kian memuncak, tapi Aku harus mampu mengendalikanya. Walaupun ini merupakan cinta
pertama, dan pertama kali Aku jatuh cinta yang tentu amat menyesakan dada, tapi
Aku harus berfikir rasional, dan Aku tidak ingin hanya karena cinta, visi yang
didoktrinkan oleh ibuku harus kandas gara – gara amoy yang bernama Sao Chun
ini. Tidak! Kata hatiku tegas. Apalagi aku sudah kelas tiga. Aku juga tidak ingin bernasip seperti
setangkai bunga mawar yang indah terus layu, kering dan diinjak orang. Aku juga tidak mau menjadi pemeran
sandiwara yang tidak berbakat, dan aku juga tidak sudi jadi pelawak yang tidak
lucu yang semua itu hanya akan membuat hatiku kusut dan terjerembab kedalam jurang yang memalukan. Yach, masih jelas dipelupuk mataku ini, betapa teman –
temanku harus introspeksi diri, mundur dengan teratur, dan harus mengubur dalam
– dalam hasrat hatinya untuk jalan bareng bersama gadis keturunan negeri panda
ini. Dia tetap tersenyum tapi tak tertaklukan oleh siapapun temanku. Padahal
setahuku teman – teman yang naksir Sao Chun pada memajang fasilitasnya untuk memikat hatinya.
Mereka berlomba bersaing ingin mengantarkanya jika selepas pulang sekolah. Tapi dengan ramah Sao
Chun selalu bilang, “terima kasih, mas!” katanya diplomatis. Terakhir aku
dengar, Agus dan Bundhi juga menaruh hati tapi mengurungkan niatnya karena Agus
ditaksir Athy, anak dari Bandung dan Bundhi kecantol Chomzah, anak Tretes. Dan memang
hampir semua temanku yang cowok naksir
gadis ini, tapi mereka harus
kandas di tengah jalan.
Sao chun bagai bunga teratai yang tumbuh di tengah
lautan. Indah dipandang dan tidak mudah disentuh orang. Disana ada badai,
gelombang, dan ombak yang dahsyat yang siap menghempaskan siapa saja yang ingin
memetik teratai itu. Sedangkan untuk
mencapai dan meraih bunga itu, hanya dibutuhkan sebuah dayung dan sampan yang
indah, disertai kesabaran,ketenangan dan keteguhan hati yang kuat, dan tidak
dibutuhkan mobil mewah atau jenis kendaraan darat lainya yang hanya akan
menjerebabkan semakin dalam bagi pengemudinya. Sao Chun memang rupawan. Matanya
indah. Hidungnya mancung. Bibirnya selalu basah kemerah – merahan walaupun
tanpa dilapisi lipstik. Rambutnya lurus legam dan panjang, juga senyum indah
yang selalu mengembang menghiasi wajahnya semakin membuat detak jantung
berdebar kencang bagi cowok yang memandangnya. Apalagi perangainya bagus, tutur
katanya sopan, bahkan cenderung bijak dan tegas, semakin melambungkan Sao Chun
sebagai gadis idola di sekolah ini.
Kalaupun Aku selama ini belum mengenal bahkan
tidak tahu kalau ada Sao Chun di sekolah ini, karena Aku termasuk cowok yang
paling ‘kuper’ atau pasif, dan pula Aku
memang sibuk dengan kegiatanku latihan bela diri selepas sekolah sampai sore,
atau kalaupun ada waktu luang Aku selalu ke perpustakaan baik di sekolah atau
perpustakaan umum untuk berburu buku, sehingga kalau ditanya siapa – siapa saja
cewek cantik disekolah ini, jawabku ‘gak eruh blas’
tapi kalau kamu tanya tentang novel, heart of Darkness, Passage to India, Candida,
Gulliver’s travels_ dll, atau karya –
karya Shakespiere, Hamlet, Otelo, Romeo_dll, juga karya – karya dari penulis
lain seperti_ Wild Duck, Arm and the man, The Old Man and The sea_dll yang
menurutku sangat bagus sebagai motivator dan inspirator, kamu bisa mengopi di
memori otaku. Karena aku punya prinsip ‘ be your mind as garbage’ yang artinya
akan kujelaskan episode lain saja karena aku balik ke cerita Sao Chun yang
menurutku cukup melekat dihatiku.
Tapi Aku
juga punya alasan kenapa aku ingin dekat Sao Chun, yaitu dia pernah kirim salam
lewat Martha, juga Rinda teman sekelasku yang Aku abaikan begitu saja karena Aku
belum tahu Sao Chun. Alasan lain kenapa
Aku enggan mendekati Sao Chun. Pertama_
Aku kuatir kalau Sao Chun sudah menyimpan sebuah nama yang indah yang selalu
menyejukan hatinya hingga damai bahagia selalu menyelimuti jiwanya. Kedua_Aku kuatir
dia sudah mempunyai calon pilihan yang telah memenuhi kisi – kisi hatinya
sehingga tiada lagi celah dihatinya untuk orang lain. Ketiga_ Aku kuatir
hatinya telah tertutup bagi siapapun karena bingkai hatinya telah tumbuh dengan
indah bunga cinta dari kekasih hatinya. Keempat_Aku kuatir Sao Chun telah
berikrar pada sang pangeran tambatan hatinya, sehingga dia memegang teguh
komitmen dan janji cintanya sehingga tidak mau berpaling kasih darinya. Kalau
dugaanku benar, Aku bangga dan apresiatif pada dia, karena dia mampu menjaga komitmen
dan punya integritas, walaupun Aku sebenarnya juga menaruh hati padanya. Tapi
kalau masih single, tidak ada satupunkah diantara cowok di es-em- a ini yang
mampu menggetarkan hatinya? Ah...pusing!
Yang
jelas saat ini hatiku amat kacau dan penasaran yang pangkal ujungnya juga
karena Sao Chun. Betulkah kata Martha dan Rinda Sao Chun beberapa kali kirim
salam buatku? Atau tidak benarkah? Ya
kalau benar, kalau tidak! Ah... semakin risau aku!
Boleh jadi teman – temanku itu hanya
memberikan motivasi agar aku bisa ikut bersaing untuk mendapat cinta Sao chun. Mungkin
merekapun turut bangga jika Aku bisa jalan bareng bersama Sao Chun, atau mereka
berharap agar Aku bernasip sama seperti teman sekelasku, Ramly, Andry, Zein,
dan Endra. Tapi Aku tidak boleh su’udzon pada mereka.Sebab mereka juga teman
baiku. Namun terlepas dari itu semua, Aku harus menggiring obsesiku yang telah
membakar darah mudaku untuk mendekati Sao Chun. Aku tidak mungkin mengendorkan
nyaliku yang telah membara untuk memetik teratai indah yang bernama Sao Chun.
Aku tidak mungkin menyusutkan langkahku yang kian pasti untuk berlabuh guna
mengarungi sebuah cinta dari seorang Amoy. Kobarkan obsesi, teguhkan hati,
satukan visi, dan tak mungkin Aku berhenti sampai disini sebelum mendapatkan
cinta sejati dari seorang Amoy yang benar – benar memikat hatiku ini. Mustahil
cinta yang telah berkobar dihatiku ini bisa Aku padamkan. Tidak! Kata hatiku
tegas.
Seperti biasa jam tujuh kurang lima menit Aku
sampai di sekolah naik sepeda motor. Aku memang berangkat tepat waktu karena kostku dekat dengan sekolah. Menjelang parkir
Aku melirik mobil Sao Chun sudah diparkir. Berarti dia sudah masuk. sebelum meninggalkan parkir, Aku merapikan
dulu rambutku dengan kaca spion sepedaku. Yach, hari ini Aku harus menemui Sao
Chun. Aku sudah tidak betah rasanya menanggung gejolak hati yang teramat. Tapi
kenapa ya, debar jantungku koq tidak
teratur? Ah, biarlah! Normal! Cinta pertama! Kamu pernah kan?
“Mas......!”
Terdengar lembut suara memanggilku dari belakang. Namun teramat jelas
ditelingaku, itu pasti suara perempuan. Dan akupun menoleh “Astaga....!” Pekiku
dalam hati. Mataku nenar. Otot dan
nadiku melemah serasa kesemutan. Serta
kurasakan keringat dingin mengucur deras diseluruh tubuhku. Terperanga!
Kiranya
didepanku telah berdiri seorang Amoy dengan senyum indahnya. Rupanya Sao Chun
belum ke kelasnya, mungkin menungguku kerena tidak ada orang lain ditempat parkir itu kecuali Cak Toyo, tukang
kebun. Tapi tidak mungkin menemui dia. Cak Toyo hitam. Rambutnya kriting lagi.
Lagipula untuk apa!? Tapi mengertikah dia kalau Aku selalu gelisah karenanya?
Mau tahukah dia kalau Aku mencemburuinya? Dan sadarkah dia kalau Aku
merindukanya? Tanyaku dalam hati. Berkali – kali hatiku menyerukan untuk
menyatakanya, berkali itu pula bibirku kelu tak mampu berkata tentang cinta.
Bibirku terasa beku dan terkunci, bahkan serasa
Tersihir
bila Aku berhadapan dengan Sao Chun. Mungkin terlalu menggebunya cintaku pada gadis ini,
Atau Sao chun terlalu kuat mengikat hatiku. Ah kacau...!
Aku mencoba
mengontrol diri dan berpesan pada hatiku agar tidak terlalu gelisah bila
bercengkrama dengan Sao Chun, biar tidak
ketauhan ngebetnya. Isin! Lantas Aku turun dari sepedaku dan menghampirinya.
“Kamu Sao
Chun, ya?” Tanyaku pura – pura tidak tahu.
“Ya, mas!” Jawabnya pelan. Rupanya dia juga malu. Itu
bisa aku lihat saat bicara bibirnya nampak terkatup, yang berarti juga malu.
Malu sama malu berarti tidak tahu. Dan ah...gelisah hatiku mulai perlahan
lenyap melihat Sao Chun juga gundah.
“Koq
tumben jam segini belum masuk?”
“Nunggu, Mas!” Jawabnya polos. Ha...!Nunggu Aku! Benarkah? Atau gak salah
dengarkah daun telingaku.. Ah, diriku serasa melayang diatas awan. Hatiku bagai
tersirami nurani embun pagi hingga terasa damai bahagia menyelimuti sekujur
tubuhku. Otot – otoku tidak lagi tegang, darahku juga tidak lagi terasa
mendidih, dan pokoknya hatiku terasa tentram.
Lantas
kami berdua meninggalkan parkir jalan
bareng menuju kelas. Sao Chun kulirik nampak riang terlihat dari kedua sorot
matanya yang sipit itu nampak ada rembulan yang bersinar disana. Rambutnya
melambai – lambai diterpa angin semakin nampak indah gadis ini. Sesekali
tanganya yang kiri membenahi letak tas ransel warna pink yang menggelantung di
pundaknya. Dan pyaar....rasa jantung hatiku saat kami sedang beradu pandang. Saat aku melirik dan
Sao Chun juga meliriku, hati terasa berdebar tapi senang, senang tapi berdebar,
ah embuh wis! Sementara disetiap sudut dan depan ruang kelas ratusan pasang mata
menyaksikan aku dan Sao Chun jalan bareng. Mereka sepertinya heran karena
selama ini aku tidak pernah sekalipun tahu yang namanya Sao Chun. Karena sekali
lagi aku memang pasif banget pada cewek. Dan even ini tentu dengan sekejap pasti menimbulkan gosip
baru di sekolah ini yang objeknya tentu Aku dan Sao Chun. Tapi Aku dan sao Chun
tetap dengan tegap dan tenang, melangkahkan kaki kedepan tanpa menoleh kekanan
atau kekiri yang hanya membuat perasaan bimbang tidak tenang dan tentu tidak pasti
dalam menikmati anugrah cinta yang amat indah ini. Ciptakan visi, kobarkan
obsesi! Tekat hatiku.
Hari itu saptu. Aku lihat jadwal yang jaga
koperasi Sao Chun, sehingga timbul keinginanku untuk menemuinya. Lagipula
pelajaranku PKN paling nyatet nanti bisa pinjam
teman. Akupun bergegas melangkahkan kakiku kesana. Tahu yang datang aku, Sao
Chun mengembangkan senyumnya yang menghiasi wajahnya yang berarti senang. Dan
wajahnya nampak berseri – seri melihatku. Lantas dia buru- buru duduk dan
meraih majalah gadis terbitan ibukota.Tanganya membolak – balikan majalah itu
tapi tidak dibaca. Kemudian Aku minta ijin masuk dengan isyarat telunjuk jariku
dari kaca jendela, dia mengangguk berarti boleh. Aku langsung masuk dan duduk
tepat dihadapanya yang hanya bersebelahan dengan meja. Aku sudah
mampu menguasai diriku dihadapan Sao Chun, tenang. Begitu
juga Sao Chun, dia
nampak lebih nyantai.
“Koq tumben mas,
nggak masuk?” Tanya Sao Chun memulai
pembicaraan.
“Masuk,
cuman nyatet” Jawabku.
“O...ya, mas sibuk
banget ta?
“Kenapa,
Chun?” tanyaku antusias.
“Ya...koq nggak
pernah jawab salamku!”
“Emang
kamu pernah kirim salam untuku?” Tanyaku
pura – pura tidak tahu.
Sebab Aku memang
tidak mau GE—ER dulu mengingat teman-temanku satu persatu harus kandas secara
mengenaskan tertelan ombak dan dihantam badai di tengah laut untuk meraih
teratai indah yang bernama Sao Chun ini. Lagipula teman-temanku memang over
acting dan menyamaratakan dia seperti gadis-gadis lain, tapi Sao Chun tidak
seperti itu menurut hatiku. Dan kenyataanya memang demikian.
“Kirim salam
lewat sapa, Chun?
“Teman mas, Mbak Martha, juga Mbak Rinda!”
“O...iya
Chun! Aku lupa. Lagipula aku kan belum tahu kamu!” kataku menggoda.
“Kalau udah tahu, gimana?” tanyanya spontan. aku tidak bisa menjawab tapi lubuk hatiku
mengatakan disana pasti ada taman yang masih luang, ya taman itu tempat
bersemainya cinta dan Aku harus menamkan benih cinta yang masih putih ini di
relung hatinya. Ah... riang banget hatiku dihadapan Sao Chun ini.
“Mas kalau saptu mesti pulang, ya?!” Tanyanya ringan.
“Iya. Sebab
teman-temanku kalau hari Saptu pada sibuk dengan pacarnya masing-masing. Terus
kalau Aku nggak pulang, apa aku harus manghitung bulan dan bintang seorang diri?”
Kataku balik bertanya.
“Ya kalau
kamu enak, Chun!” Kataku lagi.
“Apanya yang enak, mas?” Tanyanya antusias.
“Ya, kalau
hari Saptu kayak gini, kamu kan enak nunggu pacar dirumah! Terus jalan-jalan
sama pacar. Lantas makan bareng sama pacar. Pikiran jadi fresh, asyik lagi!
“Betul kan,
Chun?” Tanyaku menggoda. Sao Chun tidak menjawab. Matanya tajam menatapku.
Bibirnya digigit ditarik kekanan dan kekiri, seperti ingin mengungkapkan
kekesalanya padaku. Dari pandang matanya pula kulihat sejuta mistery yang
terkandung didalamnya yang tak terucap dari bibirnya. Disitu juga nampak rasa
jengkel, galau, atau bahkan mungkin terselip rasa rindu untuku. Ah....GE-ER
Aku.
“Lho,
ditanya koq malah ngelamun?” Tanyaku menggoda.
“Tidak Mas! Aku belum punya pacar!” Jawabnya tegas.
“Tidak
disini, di rumah udah ada janji!. Tidak dibibir, dihati udah ada yang nunggu!
Betul kan Chun!?” Godaku terus. “Lagipula Chun, wanita itu kan pembimbang. Lain
dibibir, lain pula dihati.
Kadang bibirnya tidak tapi hatinya mau. Kadang pula hatinya tidak tapi bibirnya mau. Tapi kalau
bibir dan hati sejalan, nah itu baru asyik!” Kataku terus nerocos. Dan Sao Chun
terus terdiam, membisu. Mendengarkan bibirku yang terus ngoceh. Kedua tanganya
terus membolak-balikan majalah nggak karuan. Matanya semakin tajam menatapku
hingga terasa menyusup ulu hatiku. Bibirnya berkali-kali mencep mendengarkan
kata-kata yang kuucapkan, yang membuat hatinya tergelitik, tergoda, dan ah...
tersipu. Itu bisa aku lihat dari pandang matanya, dan jari-
jari - dari kedua tanganya yang ingin banget mencubitku,
memukulku, biar kapok. Dan bukan tidak mungkin dia juga pingin....!?
Hehehe...!?
“Chun....!”
Panggilku.
“Ya....Mas!
Jawabnya pelan. Dan matanya masih deras menatapku.
“Kau baik,
Chun!,Kamu cantik!, Aku suka...,aku sayang kamu!” Kataku bersungguh-sungguh. Dan tanganku tanpa kusadari
meraih tangan Sao Chun. Tanganku terus membelai tangan Sao Chun. Sementara itu Sao
Chun hanya mematung, terdiam. Bibirnya tergetar dan terkatup. Kedua kelopak
matanya yang teduh, bening, dan selalu bersinar
itu, berubah menjadi mendung, keruh, dan berkaca- kaca dan buliran air
matanya mulai merembes dipipinya. Segera Sao Chun mengusapnya dengan sapu
tangan yang dia ambil dari saku bajunya.
“Chun,
maafkan Aku! Mungkin kata-kataku telah membuat hatimu resah, ataupun risau.
Tapi itulah kata hatiku yang selama ini membuat jiwaku mencekam karena
merindukanmu.” Kataku sambil kupandang wajahnya.
“Tidak Mas!. Aku senang.Aku senang sekali
mendengarnya!.” Jawabnya dengan suara
yang lembut dan agak parau. Matanya masih nampak berkaca tapi terus dengan
seksama memandagiku, pipinya juga masih memerah. Dari pandang matanya yang
teduh itu pula Aku temukan ketentraman jiwaku dan kedamaian hatiku. Ingin
sekali Aku berteduh dan bercengkrama disana untuk meraih dan menghabiskan ilusi
dan obsesiku bersama merpatiku yang tak pernah ingkar janji ini. *** “We just
hoping, God determining. We just preparing, God deciding, We just starting, God
finishing, but we must be setting by creating the best for reaching our future
life. C...U...in next episode...B
Ahmad Murjoko, pendidik
di SMA Negeri dan Swasta di Mojokerto
0 comments:
Post a Comment