SEBUAH
KISAH (FNAB)
Setelah hasil test laboratorium
menyatakan bahwa benjolan dikakiku positif
‘ Soft Tissue....’ yang harus
segera diangkat, maka sore itu pula aku putuskan ke Surabaya. Aku memilih kota
ini karena aku sangat akrap dengan kota Surabaya , sehingga hafal betul kondisi
dan situasi kota buaya ini, termasuk berbagai alternatif rumah sakit yang
berkualitas, disamping pertimbangan kakaku juga berada di kota ini.
Sesampainya dirumah sakit aku langsung
menuju loket pendaftaran. Petugas mendataku melalui identitas yang aku berikan
juga mendata kakaku selaku orang yang bertanggungjawab, sekaligus orang yang
mendampingiku. Menunggu giliran panggilan, aku duduk diruang tunggu sambil
mengenang kisah perjalanan hidupku yang menyimpan dua hal yang amat tidak
pernah aku bayangkan sedikitpun dalan benaku yang kenyataanya akan terjadi juga
pada diriku. Pertama, aku memang sering sakit, tapi sakit ringan sehingga tidak
sampai masuk rumah sakit, dan belum bisa menelan pil, apalagi yang namanya
suntik, aku amat membencinya. Maka operasi merupakan musibah dan hal yang amat
mengerikan bagiku. Dan yang kedua ah....! Petugas telah memanggilku dan
membuyarkan lamunanku. Aku bergegas masuk ruang UGD yang jaraknya tidak terlalu
jauh dari ruang tunggu. Sebenarnya sebelum masuk rumah sakit ini, aku telah
memeriksakan penyakit yang tumbuh dikakiku ini disebuah laboratorium disebuah
klinik swasta yang cukup punya nama dikota Mojokerto. Namun rumah sakit ini
tidak percaya begitu saja terhadap
hasil diagnosis yang aku berikan, sehingga sebelum operasi aku harus menjalani proses tahapan-tahapan yang harus aku jalani mulai awal. Hal ini sangat baik memang, karena mungkin bentuk tanggungjawab yang besar terhadap pasien dan hasilnya biar maksimal karena proses tahapan operasi dimulai awal lagi di rumah sakit ini.
hasil diagnosis yang aku berikan, sehingga sebelum operasi aku harus menjalani proses tahapan-tahapan yang harus aku jalani mulai awal. Hal ini sangat baik memang, karena mungkin bentuk tanggungjawab yang besar terhadap pasien dan hasilnya biar maksimal karena proses tahapan operasi dimulai awal lagi di rumah sakit ini.
Mulailah benjolan dikakiku diperiksa tiga
orang, satu dokter dan dua orang perawat yang bertugas di UGD tersebut.
Pertama, sampel darah diambil tepat dibenjolan kakiku melalui jarum suntik.
Selanjutnya sampel darah diambil dari sebelah kanan, kiri, atas dan bawah
benjolan oleh dokter dan perawat secara bergantian selama dua atau empat kali
lebih dari posisi jarum suntik yang
berpindah-pindah, yang menurut pikiranku agar terdeteksi sejauh mana akar
penyakit yang tumbuh dikakiku ini menjalar ke sebelah kanan, kiri, atas, bawah
sehingga bisa dijadikan ukuran seberapa lebar dan seberapa dalam penyakitku ini
dalam proses operasi nanti. Tak lupa sampel darah lengan tanganku, lantas
diujung daun telingaku juga diambil, entah berapa kali jarum suntik yang
mengerikan itu menancap di anggota tubuhku oleh dokter dan perawat perawat
tersebut. Yang pasti aku benar-benar merasa sangat stress, darahku meninggi,
dadaku berdebar kencang, ah....sangat mencekam hatiku. Disetiap dokter dan
perawat itu akan menancapkan jarum suntik, mereka memperhatikan raut wajahku
yang amat ketakutan, lantas dokter muda itu bertanya, “gak pernah suntik ya,
mas? Kok nampak gelisah amat!” ,katanya
sambil tersenyum. Tapi aku tidak menjawab, karena pikiranku terkosentrasi
membayangkan seramnya proses operasi nanti.
Setelah tahapan pertama ini selesai, aku
dibimbing oleh salah satu perawat yang ikut mendiagnos penyakitkku di UGD tadi
menuju kamar tempat aku rawat inap untuk menaruh pakaian yang aku bawa. Yach, aku tadi memesan kamar klas satu dengan harapan aku nanti bisa
istirahat dengan tenang, walaupun menurut penjelasan di ruang informasi bahwa
harga kamar juga berpengaruh pada cost
operasi, namun tidak apalah kata ibu dan keluargaku karena kesehatanku
jauh lebih penting dari segalanya, dan harapanku agar aku bisa segera pulih dan
bisa kembali beraktivitas seperti biasa , yaitu, mengajar murid-muridku
dibeberapa esempe dan esema swasta dan sebuah esema negeri, serta disebuah
lembaga course, juga sebagai penerjemah freelance.
Lantas aku memasuki tahapan kedua,
disini aku dibimbing Mustika Devi, nama perawat itu menuju sebuah ruangan,
ya....ruangan itu tempat foto rongent . Aku langsung memasuki ruangan itu,
sedang perawat hanya mengantarku sampai depan pintu. Ternyata dalam
ruangan itu sudah ada seorang laki-laki petugas pengambil foto rongent, entah
siapa namanya karena tidak ada keplek nama didadanya. Aku diarahkan menuju
sebuah tembok yang disitu tempat alat rongent ditempelkan. Lantas aku disuruh
mengahadap rongent yang berbentuk persegi panjang. Dadaku harus merapat rongent
yang berukuran mulai sebatas perut bawah sampai rongga dada. Sesaat kedua
tanganku direntangkan kekanan dan kekikri agar dada dan perutku lebih merapat
pada foto rongent itu, lima menit kemudian selesai.
Tahapan kedua inipun selesai. Aku segera
keluar dan bergegas kembali ke kamar tempat aku nanti rawat inap, namun aku
tidak menyadari kalau Mustika Devi, perawat tadi membututiku. Dia tersenyum,
lantas menjelaskan kepadaku bahwa, jika aku memerlukan sesuatu atau memerlukan
bantuan perawat, aku disarankan memencet tombol yang tepat disamping bed dalam
ruang kamar itu. Dan aku menjadi tanggungjawab perawat yang berada di pos satu.
Rupanya di rumah sakit ini, dan mungkin disetiap rumah sakit (maklum aku nggak
pernah rawat inap), dibagi sedemikian rupa, artinya tiap pos perawat mempunyai
tugas dan merawat serta menjaga pasien yang hanya berada pada naungan pos
mereka, sehingga antara pos yang satu dengan pos yang lain mempunyai
tanggungajawab yang berbeda walaupun sama-sama pasienya. Sehingga kalau aku
amati tiap pos mempunyai tingkat kesibukan yang berbeda sesuai dengan jumlah
pasien yang menjadi tanggungjawabnya.
Tahapan keduapun selesai. Aku tinggal
menungu tahapan ketiga yaitu, tahap pengcekan jantung yang rencananya akan
dilaksanakan besok pagi jam delapan. Lantas aku merebahkan tubuhku diatas bed.
Yach, kurasakan dalam dadaku tiba-tiba muncul perasaan gelisah yang teramat.
Debaran detak jantungku terasa mengguncang-guncangkan dadaku. Aku tidak
mengerti, kenapa tiba-tiba seperti ini? Entahlah, kenapa hatiku terasa mencekam
tidak karuan? Hatiku sangat risau. Tapi anehnya, kerisauan hati yang kurasakan
ini bukan lagi aku takut menghadapi operasi yang selama ini ingin aku hindari,
dan amat menakutkanku, tapi sebuah kerisauan hati yang muncul yang begitu
tiba-tiba, dan amat mencekam hatiku. ‘ I really don’t know suddenly why rising
so restlesness from the bottom of my heart?’
Dari kaca jendela, nampak kulihat dua
perawat perempuan menuju kamarku yang masing-masing ditanganya membawa tas
kresek. Yang satu aku sudah sangat mengenalinya, Mustika Devi, dan setelah
mendekat aku lihat dikepleknya ternyata yang satu lagi bernama, Afi Nazila.
Seperti biasanya mereka langsung masuk, dan tersenyum ramah padaku. “ Nich, Mas
ada titipan! Dimakan, ya!”, “Dari
siapa...?” tanyaku antusias. Tapi anehnya kedua perawat itu tidak menjawab,
justru keduanya saling memandang seperti menyembunyikan sesuatu padaku. Lantas
mereka tersenyum dan langsung
meninggalkanku.
Dengan hati yang terus gelisah, aku
membuka kresek titipan dari perawat tersebut. Ternyata berisi buah-buahan. Ada
beberapa apel merah new zeland, apel yuan, dan anggur hijau beserta pisaunya
sekalian. Sedang kresek yang satunya berisi bungkusan yang baunya sangat
familiar dihidungku, dan oh...God! Ternyata benar berisi makanan kesukaanku
yaitu cap jay yang masih panas. Tapi darimana...? Dan dari siapa...? Ah...,
semakin membuat hatiku gundah dan risau saja. Penasaran! Yang jelas orang ini
pasti kenal dekat denganku, sampai tahu makanan kesukaanku. Saudarakukah?
Temankukah? Atau...? Tapi kenapa koq tidak menemuiku? Ah..., hatiku semakin
mencekam, dan pikiranku semakin kacau…!
Jarum jam menunjukan angka dua.Suasana
mulai hening.Aktivitas mulai berkurang. Dan hanya beberapa perawat saja yang
lalu lalang. Kebanyakan pasien juga sudah mulai tidur. Larut malam memang. Tapi
aku semakin larut pula dalam kegelisahan
hatiku. Mataku tidak sempat merasakan ngantuk, malah sebaliknya. Walaupun
sebenarnya aku teramat letih. Perjalanan dari Mojokerto ke kota ini cukup jauh.
Serta menjalani serangkaian prosesi tahapan menjelang operasi, namun semua itu
terasa hilang dan lenyap termakan
kegelisahan hatiku yang teramat menyiksaku. Dari dalam kamar nampak
kuperhatikan setiap kali perawat atau dokter yang lewat didepan kamarku ,
mereka selalu menyempatkan untuk meliriku. Bahkan ada beberapa orang dokter
sengaja menjenguku. Mereka rata-rata mengajak berbincang denganku dan selalu
mengorek tentang keberadaan dan latar belakangku. Buktinya mereka tahu kalau
aku pernah tinggal di Manyar, Bratang Binangun, bahkan terakhir di Rungkut
surabaya ini, saat aku masih kuliah. Mereka juga mengetauhi latar belakang
pekerjaanku, sebelum aku menjadi seorang guru. Mereka dokter Bunhi dan Hadi.
Usianya tidak jauh denganku. Mereka diatasku sedikit, tapi bisa dikatakan
sebaya. Begitu juga dua orang dokter perempuan, Martha dan Lilin. Mereka juga
seperti dokter – dokter lainya, rupanya juga sudah mengenalku. Namun anehnya,
disela-sela percakapanku dengan mereka, disetiap aku bertanya siapa nama
dokter yang akan mengoperasi penyakitku
nanti, tapi untuk kedua kali pertanyaanku ini, tidak dijawab juga. Mereka hanya
menjawab dengan singkat ‘surgery atau
spesialis ahli bedah’.Terus buru-buru meningalkanku. Lantas dengan spontanitas
aku ingat seseorang, ah...Tidak! segera aku melepas anganku jauh keatas langit.
Dan kesekian kali pula rasa penasaranku semakin menumpuk, dan semakin membuat
gelisah hatiku.Perasaanku
makin mencekam. Aku berusaha
menenangkan diriku. Namun kegelisahan
semakin mendera sekujur tubuh ini. Aku berusaha memejamkan mataku. Aku
tutup mataku dengan saputangan agar sorot lampu tidak menerpa mataku,dengan
harapan agar mataku bisa lekas terpejam. Tetapi tetap tidak bisa. Aku
bebar-benar seperti cacing kepanasan. Sangat tidak nyaman dan risau.
Samar-samar aku dengarkan derap langkah
semakin mendekati kamarku, dan langkah itu rupanya terhenti sejenak didepan
pintu kamarku, lantas kangkah itu kembali menjauhi kamarku. Entahlah....siapa
lagi itu!
Ya …Tuhan tenangkanlah jiwa dan
hatiku dari kegalauan ini, karena aku akan menghadapi operasi! Pekiku dalam
hati.Karena aku benar – benar tidak betah dan tidak tahan menahan
kerisauan hati yang mendera ini.
Walaupun dengan kerisauan yang mendera sekujur tubuhku, akhirnya malam
itu bisa aku lalui.Namun sedikitpun
mataku tidak terpejam. Jam lima pagi ada
petugas yang memberitahuku bahwa aku harus puasa sebelum operasi, atau lebih
tepat aku harus mengosongkan perutku. Sebuah
syarat yang harus dilakukan sebelum aku menjalani operasi. Tidak masalah
buatku. Karena aku bisa menjalaninya dengan mudah. Ini mungkin merupakan
tahapan terakhir karena semua tahapan telah aku lakukan. Waktupun terus
berjalan, jam tigabelas tepat ternyata masih ada syarat lagi yang harus aku
lakukan yaitu, aku diberi semacam kapsul
untuk benar – benar bisa menggelontor
seluruh isi perutku. Setelah perutku benar- benar sudah kosong , aku
berbaring di bed dan munculah Afi dan
Aulia perawat yang sudah aku kenal. Mereka bekerja sama mulai menancapkan jarum cairan di
sekitar pergelangan tanganku. Tubuhku lemas dan aku males dan tidak bicara
apapun dengan mereka.
Jam tujuhbelas tepat perawat memberitahuku akan operasi. Segera Aulia
mendorongku dengan kursi roda menuju ruang opereasi. Aku berusaha tegar menjalani oprasi yang amat menakutkan bagiku
ini. Ada perasaan takut, ngeri, miris. Tapi perasaan itu semua telah tertutupi
perasaanku sendiri yang merasa penasaran pada diriku sendiri. Karena disetiap
lorong dan disetiap ruang yang aku
lewati menuju ruang operasi, kulirik kanan kiri para perawat dan beberapa
dokter yang sedang praktik mereka semua pada melihatku. Seperti ada yang aneh
padaku. Aku semakin heran dan penasaran. Yach, ada apa denganku? Atau mereka
sudah mengenalku! Darimana?
Lantas sampailah diruang operasi. Aulia mengantarku hanya sampai depan
pintu ruang operasi. Sebab didalam sudah ada petugas lain yang menanganinya.
Terus aku harus menanggalkan semua pakaian yang aku kenakan. Segera aku
barbering di atas bed yang hanya tertutup oleh kain warna hijau, dan langsung
didorong oleh perawat menuju ruang
operasi….(kurang)
“Apa kabar, Mas?”
“Sao Chun!” Kataku lirih. Sspontan dadaku terasa sesak. Nafasku serasa
terhenti. Tenggokanku terasa kering dan berat seperti dibebani gelondongan batu
yang besar hingga aku tak mampu berkata apa- apa. Mataku tajam menatapnya.
Namun seketika itu pula terasa keruh dan melelehkan buliran air mata ini.
“Maafkan Aku, Chun!, Aku minta maaf!”
Kataku terbata-bata.
‘ ‘Tidak Mas!, Tidak!...Kamu tidak bersalah!”, Kata Sao Chun tegas. Senyumnya menghiasi
wajahnya, dan matanya lembut menatapku. ‘’’Mas,
tidak perlu minta maaf padaku. Kamu tidak pernah bersalah padaku. Tidak ada
yang perlu dimaafkan. Seperti juga aku, tidak akan minta maaf padamu. Sebab
kita telah menjalani prosesi cinta yang
benar. Cinta yang bermartabat. Cinta yang indah dan agung . Karena kita bisa
menjaga keindahan, dan keagungan cinta itu tanpa merusak kesucian cinta itu
sendiri. Kamu sangat menghormati aku.
Begitu juga aku, juga sangatmenghormati dirimu. Sehingga aku dan kamu dalam menjalani
prosesi cinta ini selalu dijaga malaikat untuk tidak melakukan sesuatu yang
sebenarnya sama-sama kita inginkan. Karena kalau kita mau jujur, waktu ada,
tempat tersedia, kondisi mendukung,dan kesempatanpun memungkinkan bagi kita
untuk saling melepaskan keinginan atas nama cinta. Tapi tidak! Hal itu tidak
pernah terjadi diantara kita. Sebab kamu talah mengajariku tentang cinta yang
sejati, dan telah kau buktikan itu dihadapan papa dan mamaku selama ini.
Mungkin kamu bertanya-tanya siapa yang mengirim makanan kesukaanmu, buah
kesukaanmu, atau kenapa kamu pindah ke ruang VVIP ini? Itu semua karena aku.
Aku yang mengaturya. Yach…, Aku Sao
Chun, adikmu. Yang selama ini kamu banggakan. Kekasihmu yang selama ini kamu
rindukan. Kau cintai. Dan kini menjadi seorang dokter. Seorang ahli bedah.
Sebuah profesi yang kau impikan. Kamu dambakan pada adikmu ini. Dan kini menjadi kenyataan. Kamulah
orang yang paling berperan paling dan dominan yang mampu menentukan arah
kehidupanku. Kamulah orang yang membangun karakterku. Dan kamu pula yang
menginspirasiku, mendorong , dan mengantarku menjadi seorang dokter.
Yach, kamu bagai matahari bagiku, yang selalu muncul di pagi hari dan
terbenam di sore hari. Kau memberikan kehangatan dengan cinta dan kasihmu. Kamu memberikan semangat disetiap waktu.
Memotivasku kearah yang lebih maju. Kamu dengan setia selalu menemaniku kemana
arahku pergi. Kamupun selalu setuju kemana aku mau. Kamu selalu membuat hatiku
merasa damai bahagia. Membuat hatiku selalu berseri-seri. Hatiku selalu
tersenyum dan berbunga-bunga karena aku menjadi kekasihmu.
Yach, kurasa kamu memang tidak pernah berdusta pada diriku. Kamu tidak
pernah membohongiku. Janjimu selalu kamu tepati. Apa yang kamu ucapkan selalu
jadi kenyataan. Bahkan kenyataan yang kamu berikan pada diriku jauh lebih indah
kurasakan dari sekedar janji yang kau ucapkan pada diriku ini. Itulah yamg
membuat sesak nafasku, jiwaku gundah, hatiku letih dan lunglai bila aku jauh
darimu.
Cinta yang kau tanamkam dihatiku, merupakan cinta yang sejati yang
melekat begitu dalam dihatiku. Bunga
cinta yang kau tanam dihatiku tumbuh
indah dan begitu subur mengihiasi relung hatiku. Ruang hatiku penuh dengan
benih cinta yang kau semaikan sejak aku masih belia. Dan dengan penuh tulus dan
ikhlas, serta penuh kasih sayang aku menjaga dan merawat benih cinta yang kau semayamkan di hatiku ini.
Darah yang mengalir ditubuhku ini penuh dengan cinta kasihmu. Jiwa, dan
sekujur tubuhku ini penuh dengan warna-warni cinta darimu. Cintamu memang telah
kurasakan menyatu dan mengalbu dalam tubuhki ini. Sehingga tidak mungkin aku
bisa terlepas bayang-bayang cintamu, dan aku memang tidak ingin melepaskan
bayangan itu.Biarlah abadi dalam diriku, dan tentu pada dirimu pula.
Aku sadar yang sempurna hanya
Tuhan. Tapi kamu begitu sempurna dimataku. Kamu bisa berperan sebagai
seorang teman yang bisa membuat hatiku
riang dan senang. Kau bisa menjadi seorang kakak yang baik yang selalu menuruti
kemauan adiknya.Membuat adikmu ini selalu tersenyum. Dan kamu tentu telah
membuktikan bahwa kamu bisa menjadi seorang kekasih yang bertanggungjawab.
Kekasih yang setia, tempat aku bermanja, tempat aku berteduh, dan tentu tempat
mengadu kasih dan sayang. Kamu selalu memberi semangat dan pengertian akan
pentingnya ilmu pengaetauan sebagai bekal kehidupan di masa mendatang. Kamu
selalu bilang hanya ilmu yang mampu membuat orang bermartabat, berbudi, dan
bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang riil. Dan hanya dengan
ilmu pula orang bisa disegani dan dihormati. Dan itu yang dianjurkan oleh
agama. Yach, itu semua kata-katamu, dan hal itu pula yang semakin membuat aku
mabuk padamu.
Mungkin kalau kamu tidak menyarankanku untuk melanjutkan kuliah di
Amerika, bahkan kamulah yang memilihkan aku masuk di Colorado university. Dan
kenyataanya universitas terkemuka disana. Aku bangga kuliah disana. Apalagi
kamu yang memilihkanya. Kalau bukan kamu, tentu aku lebih memilih kuliah
disini, di Unair. Biar kamu kalau punya
waktu luang bisa mengantarku. Atau kalau kamu sepulang kerja kamu bisa
menjemputku. Itulah yang aku harapkan darimu. Bahkan mama dan papa menyarankan
kitra untuk bertunangan. Biar jalinan antar keluarga kita lebih akrap. Biar
kalau kamu keluar masuk rumahku tidak menimbulkan prasangka buruk. Atau kalau
aku sering ikut kerumahmu, bahkan sering kali bermalam disana tidak menimbulkan
fitnah dimasyarakat. Sebenarnya ide mama dan papa itu sangat baik, karena demi
kebahagiaan anaknya, dan tentu demi kamu pula sebagai calon pendamping
anaknya.Mama dan papa selalu bilang padaku, bahwa kamulah orang yang tepat yang
menjadi tumpuhan dan harapan mama dan papa yang akan mendampingiku. Harapan
terbentang luas pada dirimu yang senantiasa selalu menyayangiku. Yang selalu
menjaga dan melindungiku dengan perisai cintamu. Dan yang selalu membuat hatiku
tersenyum bahagia dalam menjalani prosesi cinta dalam kehidupan yang nyata ini.
Dan kamu pula yang nyata-nyata menjadi tempat bersemayanya cinta yang sejati
dalam hatiku ini.
Tapi kamu saat itu tidak menjawab gagasan
mama dan papaku agar kita bertunangan. Malah kamu tersenyum memandangku. Kamu
mendekat dan memeluku di hadapan mama dan papaku. Beliau terkesima. Begitu juga
aku. Mereka tersenyum senang dan bangga padamu. Aku bahagia sekali saat itu.
Karena kamu tidak pernah melakukan hal itu padaku. Apalagi dihadapan papa dan
mamaku. Tapi aku tahu maksudmu, kau ingin menunjukan pada papa dan mama bahwa
tanpa bertunangan terlebih dahulu, kau tidak akan pernah menyusutkan cintamu
padaku. Dan kau menunjukan kesungguhan hatimu pada adikmu ini. Atau kau ingin
membuktikanbahwa cinta dan hatimu hanya untuku. Atau mungkin kamu juga tidak
ingin berpisah dengan adikmu yang kau cinta ini.
Tapi saat itu kamu bilang, papa- mama
saya berjanji seusainya adik Sao chun menjadi seorang dokter, saya akan
meminangnya. Saya akan melamarnya. Akan saya buktikan janji saya dalam sebuah
tahta yang suci dan agung sesuai dengan
harapan papa dan mama dan tentu ibu saya.
Saya berjanji, saya akan seklalu mendampinginya. Saya akan menyertainya.
Saya akan bahagiakan sepenuh hati dan jiwanya. Dan tentu seluruh hati dan jiwa
saya pula. Sebenarnya tidak hanya mama, papa yang takut jauh dengan adik Sao
Chun, tapi saya yang biasa menemaninya, yang setiap saat bersama saya. Sungguh
teramat berat dan rasanya juga tidak kuat jauh darinya. Tapi saya harus
berfikir . Tapi demi cita – cita kami berdua yang selama ini kami rencanakan.
Demi obsesi kami berdua yang telah kami kobarkan. Demi cinta kami berdua yang
selama ini kami bina. Demi masa depan kami berdua, dan untuk kebahagiaan kami
berdua kami mohon ijinkan dia untuk berangkat melanjutkan study-nya. Dan saya
yakin, berkat cinta kami berdua, berkat ketulusan kami berdua, dan tentu berkat
itikat baik kami berdua, serta doa restu mama, papa, dan orang tua saya, kami
akan mencapai kebahagiaan yag hakiki dalam mengarungi kehidupan ini. Dan saya
sudah berikrar dalam hati saya, saya akan selalu bersama, mendampingi dan
menyertai, serta akan membhagiakan adik Sao Chun lahir dan batin sampai kapanpun.
Aku saat itu
mendengarkan kata-katamu dengan seksama. Dalam hatiku kurasakan geemuruh yang
tidak menentu. Aku merasa sedih,
bingung, dan gembira. Gimana rasanya jauh darimu. Padahal jujur saja kalau aku sehari
saja tidak ketemu kamu, bukan hanya aku, tapi mama, papa menanyakan kamu. Sudah
tilpon apa belum. Kenapa belum tilpon dan seterusnya. Apalagi aku…?Sungguh
tidak bisa aku lukiskan betapa aku saying padamu. Hatiku nenar- benar telah
menyatu dengan jiwamu. Kamu telah mehjadi bagian dari hidupku yang tidak
mungkin bisa terpisahkan. Namun saat mendengarkan kata-katamu jiwaku terasa
tentram bagai pelangi indah yang menerangi hatiku.
Maka tidak ada alasan bagiku untuk tidak pergi ke Amerika untuk melanjutkan
kuliahku, untuk meraih gelar dokter yang kau impikan. Karena semua ini demi
kamu.Demi aku. Dan tentu demi kebahagiaan kami berdua. Kamu pernah bilang
padaku saat itu, kalaupun aku sudah
menjadi seorang dokter, aku harus selalu membuatkan kopi untukmu kalau aku
telah menjadi istrimu. Juga harus masak untuk dirimu. Aku geli endengarkan
kata-katamu. Tapi senang. Namun, jauh dalam hatiku, aku memang telah berikrar
dalam kalbuku, akan kuwujudkan dan kubuktikan kesetiaanku padamu. Akan kupersembahkan
cinta dan hatiku padamu. Jiwa dan ragaku untuk suamiku, yaitu dirimu. Aku ingin
menjadi seorang istri yang taat dan patuh pada suami. Menghargai dan
menghormati suami. Serta jujur dan setia mendampingi suami. Aku menginginkan kau
selalu bahagia bersamaku. Seperti dulu kau selalu membahagiakanku. Itulah janji hatiku padamu.
Yach, kalau aku ingat pertama kali aku ketemu dengamu, seperti sebuah
fenomena klasik tapi artistik yang mampu
mendekatkan diriku denganmu. Semua berjalan begitu tiba-tiba. Begitu
spontanitas, dan tidak pernah terpikirkan olehku, ataupun aku juga tidak pernah
membayangkan kalau aku akan ketemu denganmu….Saat itu dikampusmu menggelar
seminar ‘bahaya free-sex dan narkoba’ yang pembicaranya, dr naek L. Tobing, dr.
Boyke dan kapolda. Saat itu kamu sebagai pembawa acara. Sedang aku dan lima
orang temanku mewakili sekolahku. Kuperhatikan kamu dengan tenang , prcaya
diri, dan Nampak nyaman membawakan acara tersebut. Teman-temanku pada berisik
dan berbisik bukan membicarakan materi seminar atau mendengarkan pembicara,
melainkan membicarakan dirimu. Karena
kamu memang menarik dan pantas menjadi objek bagi teman-temanku. Tapi anehnya disetiap temanku membicarakanmu,
ada rasa nyeri dihatiku. Yach, nyeri itu buktiawal tumbuhnya benih cinta
dihatiku, yang tentu untuk dirimu yang
secara diam-diam muncul menghiasi relung hatiku tanpa sepengetauhanmu. Semakin
aku memandang dirimu, semakin risau
resah hatiku. Itulah pertama kali aku merasakan cinta, mengenal cinta, dan
tentu cinta itu hanya untukmu.
Seusai seminar belum juga hilang debaran hatiku karenamu, entahlah angin
apa yang mendorongmu hingga kakimu buru-buru melangkah mengahampiriku.
Nyamperin aku. Seperti mimpi aku saat itu, orang yang kusimpan dalam hatiku benar-benar berada didepanku.
Aku merasakan gemetar seluruh tubuhku. Hatiku berdebar. Tapi senang dekat
denganmu. Kau ulurkan tanganmu dan kubalas dengan jabatan tangaku. Bibirku
terasa beku. Wajahku spontan memerah karena bercampur aduk antara, rasa malu, berdebar,
dan suka bergumul jadi satu dalam hatiku. Itulah yang kurasakan saat itu.
“Siapa namamu?” “Sao Chun”, jawabku. “Namamu bagus seperti orangnya”. Ya
Tuhan! Seperti aku mengenggam bianglala. Hatiku berbinar-binar kegirangan
karena mendapat pujian dari seorang mahasiswa yang wajahnya telah menyusup
dihatiku. Bersemayam disana . tapi saying kita tidak bisa ngobrol lebih lama
karena kamu keburu dipanggil dosenmu. Yang pasti pertemuan singkat denganmu
saat itu sangat berarti bagiku. Mewarnai
hidupku. Akku tidak munafik, sejak itu aku sering gelisah dan risau. Aku sering
melamun. Ada rasa rindu dihatiku. Yang semua itu karenamu. Karena tanpa
kusadari dihatiku telah tumbuh benih=benih cinta dihatiku. Aku sangat berharap
untuk bisa bertemu dengan kamu lagi. Bisa ngobrol lebih lama. Tapi itu sulit
karena karena kamu di kampus dan aku masih disekolah. Lagipula kamu juga tidak
memberitahu nomor tilpon atau aku juga
tidak memberimu alamat untuk berkomnikasi. Yach, aku sering gelisah. Akankah
benih cinta yang tumbuh dihatiku akan bisa berkembang degan indah. Bisa berbunga
sehingga kita bisa memetiknya sama-sama.
Bisa merawatnya sama-sama. Bisa menikmati harumnya sama-sama. Ataukah akan
layu, kering, dan mati karena kamu tidak pernah kembali untuk menyirami dan
merawatnya. Hatiku kacau dan tidak nyaman dimanapun aku berada.
Suatu ketika aku ingin ke kampusmu untuk menemuimu.karena aku merasa
tidak betah menanggung kegelisahan ini. Namun rasa malu menggelayut disekujur
tubuhku, hingga terasa berat langkahku untuk menemuimu. Ya..tuhan! Inikah yang
dinamakan cinta ataukah aku sedang mabuk cinta.
Dua minggu sudah sejak aku ketemu kamu dikampusmu. Mungkin hanya segitu
pertemuanku denganmu. Tak kurang dan tak
lebih. Sederhana, singkat, namun menyisakankeletihan hati yang mendalam bagiku, karena cinta tak
lagi berkembang. Biarlah!
Siang itu jam dua belas. Seperti biasa aku istirahat kedua. Aku ke
kantin bersama teman-temanku. Namun pesananku mie kuah belum diantar, janitor
buru buru memanggilku katanya ada tamu. Dadaku berdebar. Jantungku mendadak
berdenyut kencang. Tubuhku keluar keringat dingin. Ada apa? Hatiku gelisah
penuh tanya. Aku berlari, buru-buru menuju ruang tamu yang tak jauh dari
kantor. Hatiku semakin gelisah penuh tanya. Kalau papa atau mama, biasanya
langsung tilpon. Lantas?.. Ya..Tuhan, Kamu..duduk sendiri menungguku. Aku
seraya tak percaya dengan apa yang aku lihat. Nafasku seraya terhenti. Sejenak
aku bediri mematung. Terperanga memandangmu.
Lantas aku bisa menguasai diriku dan aku langsung duduk dihadapanmu.
Perasaan gemetar, malu tapi senang bergumul jadi satu dalam hatiku.
“Apa kabar, Chun?”
“Baik Mas!”
“Aku ngganggu,ya?”
“Tidak mas! Aku lagi istirahat.”
“Chun, sebenarnya tempo hari aku ingin ngobrol lebih lama denganmu, Cuma
saat itu ada beberapa laporan yang mesti harus aku kerjakan sebagai panitia.
Tapi aku sempat melihat asal sekolahmu melalui atribut yang kamu kenakan. Yach…., daripada aku
memenjarakan hatiku, atau aku harus berdusta pada diriku sendiri, lantas aku
sempatkan bertandang kesini untuk menemuimu.
“Maksud Mas?”
“Ya, jujur saja. Aku suka kamu. Aku sayang kamu. Dan aku mencintaimu,
Chun!” “Ya Tuhan! Spontan bunga
cinta yang ada di hatiku jadi tumbuh dengan begitu indah. Kurasakan hatiku
tesenyum begitu riang. Diriku seraya melayang di awan hingga mataku yang senang
memandang wajahmu tidak terasa menetes perlahan airmata membasahi pipiku. Yach,
airmata bahagia. Karena orang yang aku rindukan selama ini akan menyatukan dua
hati insan manusia yang sedang kasmaran , tentunya diriku dan dirimu.
Lantas kamu berdiri memberikan kartu nama padaku. Terus kamu
meninggalkan aku dan sebelunya kamu pamit dulu ke kantor. Aku kembali ke teman-temanku dengan hati
riang . Mataku berbinar-binar. Auraku mengisaratkan hatiku amat berbunga.
Teman-temanku heran. Kenapa aku nampak girang dan seriang itu. Kemudian aku
ceritakan bahwa tamu yang mencari aku tadi adalah kamu yang sering aku
bicarakan dengan mereka, dan aku bilang,kamu mengucapkan cinta padaku. Tapi
sayang teman-temanku tidak ada yang percaya. Ok.. kita lihat saja nanti. Kataku
pada teman-temanku saat itu.
Dan suatu ketika, kamu menelpon aku bahwa kamu akan menjemputku. Tentu
aku senang sekali. Aku langsung tilpon sopirku agar tidak menjemputku. Karena
aku tentu lebih senang naik sepeda denganmu. Walaupun terik matahari amat
menyengat kulitku di kota Surabaya ini, namun terasa sejuk dan nyaman karena terbiaskan indahnya sekujur tubuhku
naik sepeda bersamamu. Aku benar-benar bisa merasakan betapa indahnya dunia
saat bersamamu. Lagipula obsesiku terwujud dan akan kubuktikan pada
teman-temanku kalau aku bisa jalan bareng bersamamu.
Ternyata kamu tidak langsung mengantarku pulang, tapi kamu mengajaku ke
tempat kostmu. Aku kamu kenalkan dengan teman-temanmu. Dan teman-temanmu tadi
rupanya sengaja menunggu kedatanganmu denganku. Kamu rupanya juga memang telah
berjanji akan mengenalkanku dengan mereka. Makanya ketika aku datang bersamamu,
teman-temanmu langsung menebak kalau aku adalah kekasihmu. Aku senang
mendengarnya, karena aku memang benar kekasihmu. Mereka memuji kita berdua. Aku
dan kamu memang merupakan pasangan yang serasi. Dan entachlah.. sekarang dimana
saja temanmu yang selalu baik padaku dan suka sekali menggodaku bila aku
bertandang ke tempat kostmu. ….[Sorry Penulis belum sempat melanjutkan….tp
segera beredar ]
0 comments:
Post a Comment