MERPATI
Astaga pikiranku stuck!
Dadaku berdebar. Jantungku berdetak kencang. Dan terasa tidak nyaman seluruh
tubuh ini. Aku benar – benar gelisah dan risau banget. Seperti cacing kepanasan
hingga aku terasa tidak kerasan dimanapun tempat. Padahal pekerjaanku butuh
kosentrasi penuh. Butuh ketenangan. Agar hasilnya maksimal. Tapi aku harus
pulang sekarang juga!
Dan memang aku kerja di
Jakarta ini sebenarnya ada dua orang yang tidak menyeyujuinya. Pertama, ibuku
dengan alasan terlalu jauh . Kedua, Arifanty adiku yang juga kekasihku yang
memang telah mengisi seluruh kisi hatiku. Andaikan bunga, dia merupakan melati
yang tumbuh indah dengan baunya yang
mampu mengaharumkan seluruh hati dan jiwaku. Hingga aku tidak mungkin berpaling
kasih pada siapapun. Itulah kata hatiku yang telah tertanam semenjak aku jalan
bareng sama Fanty.
“Fan, gimana aku nanti kalau dipindah ke
Jakarta?”, tanyaku suatu ketika.
“Tidak!”, jawabnya
tegas. “Emang mas mau cari kerja lain?”
“Yo tidak Fan, Cuma barangkali aku mendapat
kedudukan yang lebih menantang. Sebab teman – teman bilang ada rumors bahwa aku
dipromosikan menduduki posisi baru sebagai Desaign
Market Program, gak apa-apa,yo ?” kataku merajuk.
“Tidak! Pokoknya
tidak!”, jawabya tegas. Matanya tajam menatapku bahkan terasa sampai ulu
hatiku. Bibirnya digigit kekanan dan kekiri. Ada rasa cemas dan kwatir bila
jauh dariku. Dia nampak kesal dan jengkel memandangku. Kelopak matanya sudah
mulai nampak berkunang kunang. Dan kalau sudah demikian aku harus merayunya.
Biar suasana kembali ceria. Biar rembulan kembali berseri diwajahnya.Biar
hatinya kembali memancarkan bianglala. Namun dia masih terdiam dan mematung dan
terus memandangku.
“Oya Fan, besok kalau kuliah aku antar, yo? Terus kalau
kamu pulang, tilpon aku dulu barangkali aku bisa ngantar”, kataku terus
merayunya. Arifanty tidak menjawab, namun dia menganggukan kepalanya berarti
setuju dan itu berarti mulai reda emosinya.
“Pokoknya Mas gak boleh pindah ke Jakarta!”, katanya
sekali lagi. Dan memang mungkin terlalu kuatnya pengaruh cinta dariku, atau
bisa juga begitu indahnya benih cinta yang aku tanamkan dihatinya , sehingga
Fanty selalu merindukanku, dan tidak bisa jauh dariku. Bahkan mamanya pernah bilang, kalau aku tidak terlalu sibuk, disuruh
sering sering datang untuk menemani Fanty. Begitu juga aku, Fanty sudah menjadi
seperuh hatiku, bahkan dia telah menyatu dan mengalbu dalam kehidupanku.
Jam 9.30 malam aku sampai di juanda. Aku bergegas
menuju pintu keluar dan langsung naik taxi menuju rumah Fanty, besok saja aku
pulang ke rumah sekalian mengajak adiku, fanty. Saat ini, aku harus ketemu
fanty. Yach, ini memang salahku, aku ke Jakarta tidak membertahunya lebih dulu.
Pasti dia ngambek, kecewa bahkan marah padaku. Apalagi aku sudah dua bulan tidak
mengabarinya. Tentu dia sudah amat merindukanku. Karena dia pernah bilang
padaku bahwa kalau aku sepulang dari rumahnya, selang dua jam saja katanya
sudah kangen lagi sama aku. Terimakasih, Fan! Kata hatiku sebab sebenarnya
sama, tetapi aku memang sudah didoktrin untuk membangun cinta itu tidak hanya
atas dasar emosi, akan tetapi yang lebih
penting adalah edukasi, dan aku juga pernah membaca salah satu statemenya filosof terkenal. J.Adler…reading
and writing are basically of good life…yang maksudnya jika kamu ingin kehidupamnu
menjadi berkualitas, maka tidak ada cara lain, yaitu bekalilah dirimu dengan
berbagai macam ilmu pengetauhan yang kelak akan membimbingmu menjadi orang yang
dihormati, disegani, bahkan disayangi oleh orang orang terdekatmu.
Akhirnya sampai juga
aku ke rumah Arifanty. Sudah agak malam memang. Tapi rupanya masih banyak
karyawan papanya yang nongkrong didepan pagar rumahnya. Taxi tepat berhenti
didepan rumahnya. Tahu aku yang datang buru-buru salah satu diantara mereka lari masuk memberitahu majikanya. Lantas
mamanya muncul, disusul papanya…,lama banget tidak kesini?, kata mamanya.
Kemana saja kamu selama ini? Kata papanya. Tapi aku tidak menjawab, malas.
Pusing! Di otaku hanya terpikirkan adiku, Fanty.Yang lain tidak penting dan Tidak
ada urusan. Aku masuk dan langsung duduk di ruang tengah, namun aku lihat
Arifanty tidak Nampak, sebentar mamanya menyuruhku masuk ke kamarnya dan
rupanya dia ada dalam kamarnya, Astaga! Pekiku dalam hati! Adiku nampak kurus
banget. Wajahnya Nampak murung. Matanya Nampak mendung yang siap mengahambur menjadi air
hujan, dan aku harus mampu menghalaunya. Dia terdiam dan tidak merespon akan
kedatanganku.
“Adiku, gimana kabar?”,
kataku sambil mengahampirinya. Fanty tidak bereaksi. Matanya terus tertuju pada
monitor labtop, disitu nampak beragam fotoku dan dia saat kami berada dihadapan
orang tua kami berdua. Dan kedua jari tangannya dengan perlahan mengedit foto –
foto tersebut.
“Adiku, aku minta maaf!
Kenapa aku lama tidak mengabarimu. Sekarang aku ceritakan, Ok!” . Sesaat Fanty memandangku, lantas bangkit dan
pindah duduk ditepi tempat tidurnya. Akupun menghampirinya.
“Adiku, sebenarnya
walaupun aku ke Jakarta, namun hatiku tertinggal disini. Itu terbukti setiap
saat aku merasakan selalu gelisah dan risau sekali, yach pangkal ujungnya aku
amat merindukanmu. Dan hari ini,sebenarnya aku belum pulang, akan tetapi aku
sudah tidak tahan menahan gejolak hatiku yang amat merindukan adiku,terus
kesini, dan akupun belum pulang, Adiku ikut ke rumah ya!” fanty tidak menjawab. Namun matanya yang mendung,
keruh ,dan siap meleleh tadi kini sedikit nampak pijar dan rembulan yang
menerangi hatinya. Lantas jemarinya meraih jariku. Alhamdulilah! Adiku sudah
tidak marah lagi. Tidak murung lagi.
“Tapi , mas kenapa gak
bisa aku hubungi”. Tanyanya dengan suaranya yang parau.
“Iyo, adiku. Aku kan
wis bilang. Karena aku amat risau sehingga saat aku wudhu mau sholat ponselku
kecemplung , yach hangus semua nomernya, termasuk nomer adiku!”, kataku
menjelaskan. Fanty seksama mendengarkanku. Lantas duduknya digeser merapat
disampingku. Pandang matanya teduh menatapku, dan ah sensor…!
Aku dan Arifanty memang
sudah sepakat dalam menjalani prosesi cinta ini, akan menjalani cinta yang beretika dan bermartabat.
Artinya kita berdua akan menjaga kesucian dan kemurnian cinta ini sampai pada
saatnya. Aku sangat menhormati Fanty,dan Fanty-pun demikian terhadapaku.
Sehingga asmara yang aku bangun dengan Fanty ini murni isi hati, gejolak hati,
sehingga aku bisa membangun cinta kami berdua dengan begitu indah dan sangat
nyaman, dan tidak terkontaminasi dengan apapun hal – hal yang merusak mahkota
cinta kami berdua. Aku berharap fanty kelak menjadi seorang wanita sukses.
“Eh Mas, punya hutang aku,ya?, tanya Fanty
kemudian.
“Apa Fan? Oiya,
cerita yo?” [ ceritanya episode lain, and mungkin kamu tanya kenapa aku di
ijinkan bahkan familiar dengan kamar fanty, atau kenapa disana terdapat foto
kami berdua dan dihadapan orang tua kami berdua *****
Murjoko, S.S , Guru B. Inggris di SMA.N
I Trawas dan Lembaga Swasta di Mojokerto