Tuesday, October 29, 2013

SIDE OF MEMORIES



                                       SEBUAH KISAH (FNAB)

       Setelah hasil test laboratorium menyatakan bahwa benjolan dikakiku positif  ‘ Soft  Tissue....’ yang harus segera diangkat, maka sore itu pula aku putuskan ke Surabaya. Aku memilih kota ini karena aku sangat akrap dengan kota Surabaya , sehingga hafal betul kondisi dan situasi kota buaya ini, termasuk berbagai alternatif rumah sakit yang berkualitas, disamping pertimbangan kakaku juga berada di kota ini.
       Sesampainya dirumah sakit aku langsung menuju loket pendaftaran. Petugas mendataku melalui identitas yang aku berikan juga mendata kakaku selaku orang yang bertanggungjawab, sekaligus orang yang mendampingiku. Menunggu giliran panggilan, aku duduk diruang tunggu sambil mengenang kisah perjalanan hidupku yang menyimpan dua hal yang amat tidak pernah aku bayangkan sedikitpun dalan benaku yang kenyataanya akan terjadi juga pada diriku. Pertama, aku memang sering sakit, tapi sakit ringan sehingga tidak sampai masuk rumah sakit, dan belum bisa menelan pil, apalagi yang namanya suntik, aku amat membencinya. Maka operasi merupakan musibah dan hal yang amat mengerikan bagiku. Dan yang kedua ah....! Petugas telah memanggilku dan membuyarkan lamunanku. Aku bergegas masuk ruang UGD yang jaraknya tidak terlalu jauh dari ruang tunggu. Sebenarnya sebelum masuk rumah sakit ini, aku telah memeriksakan penyakit yang tumbuh dikakiku ini disebuah laboratorium disebuah klinik swasta yang cukup punya nama dikota Mojokerto. Namun rumah sakit ini tidak percaya begitu saja terhadap
hasil diagnosis yang aku berikan, sehingga sebelum operasi aku harus menjalani proses tahapan-tahapan yang harus aku jalani mulai awal. Hal ini sangat baik memang, karena mungkin bentuk tanggungjawab yang besar terhadap pasien dan hasilnya biar maksimal karena proses tahapan operasi dimulai awal lagi di rumah sakit ini.
        Mulailah benjolan dikakiku diperiksa tiga orang, satu dokter dan dua orang perawat yang bertugas di UGD tersebut. Pertama, sampel darah diambil tepat dibenjolan kakiku melalui jarum suntik. Selanjutnya sampel darah diambil dari sebelah kanan, kiri, atas dan bawah benjolan oleh dokter dan perawat secara bergantian selama dua atau empat kali lebih  dari posisi jarum suntik yang berpindah-pindah, yang menurut pikiranku agar terdeteksi sejauh mana akar penyakit yang tumbuh dikakiku ini menjalar ke sebelah kanan, kiri, atas, bawah sehingga bisa dijadikan ukuran seberapa lebar dan seberapa dalam penyakitku ini dalam proses operasi nanti. Tak lupa sampel darah lengan tanganku, lantas diujung daun telingaku juga diambil, entah berapa kali jarum suntik yang mengerikan itu menancap di anggota tubuhku oleh dokter dan perawat perawat tersebut. Yang pasti aku benar-benar merasa sangat stress, darahku meninggi, dadaku berdebar kencang, ah....sangat mencekam hatiku. Disetiap dokter dan perawat itu akan menancapkan jarum suntik, mereka memperhatikan raut wajahku yang amat ketakutan, lantas dokter muda itu bertanya, “gak pernah suntik ya, mas? Kok  nampak gelisah amat!” ,katanya sambil tersenyum. Tapi aku tidak menjawab, karena pikiranku terkosentrasi membayangkan seramnya proses operasi nanti. 
       Setelah tahapan pertama ini selesai, aku dibimbing oleh salah satu perawat yang ikut mendiagnos penyakitkku di UGD tadi menuju kamar tempat aku rawat inap untuk menaruh pakaian yang aku bawa.  Yach, aku tadi memesan  kamar klas satu dengan harapan aku nanti bisa istirahat dengan tenang, walaupun menurut penjelasan di ruang informasi bahwa harga kamar juga berpengaruh pada cost  operasi, namun tidak apalah kata ibu dan keluargaku karena kesehatanku jauh lebih penting dari segalanya, dan harapanku agar aku bisa segera pulih dan bisa kembali beraktivitas seperti biasa , yaitu, mengajar murid-muridku dibeberapa esempe dan esema swasta dan sebuah esema negeri, serta disebuah lembaga course, juga sebagai penerjemah freelance.
       Lantas aku memasuki tahapan kedua, disini aku dibimbing Mustika Devi, nama perawat itu menuju sebuah ruangan, ya....ruangan itu tempat foto rongent . Aku langsung memasuki ruangan itu, sedang perawat hanya mengantarku sampai depan pintu. Ternyata dalam ruangan itu sudah ada seorang laki-laki petugas pengambil foto rongent, entah siapa namanya karena tidak ada keplek nama didadanya. Aku diarahkan menuju sebuah tembok yang disitu tempat alat rongent ditempelkan. Lantas aku disuruh mengahadap rongent yang berbentuk persegi panjang. Dadaku harus merapat rongent yang berukuran mulai sebatas perut bawah sampai rongga dada. Sesaat kedua tanganku direntangkan kekanan dan kekikri agar dada dan perutku lebih merapat pada foto rongent itu, lima menit kemudian selesai.
       Tahapan kedua inipun selesai. Aku segera keluar dan bergegas kembali ke kamar tempat aku nanti rawat inap, namun aku tidak menyadari kalau Mustika Devi, perawat tadi membututiku. Dia tersenyum, lantas menjelaskan kepadaku bahwa, jika aku memerlukan sesuatu atau memerlukan bantuan perawat, aku disarankan memencet tombol yang tepat disamping bed dalam ruang kamar itu. Dan aku menjadi tanggungjawab perawat yang berada di pos satu. Rupanya di rumah sakit ini, dan mungkin disetiap rumah sakit (maklum aku nggak pernah rawat inap), dibagi sedemikian rupa, artinya tiap pos perawat mempunyai tugas dan merawat serta menjaga pasien yang hanya berada pada naungan pos mereka, sehingga antara pos yang satu dengan pos yang lain mempunyai tanggungajawab yang berbeda walaupun sama-sama pasienya. Sehingga kalau aku amati tiap pos mempunyai tingkat kesibukan yang berbeda sesuai dengan jumlah pasien yang menjadi tanggungjawabnya.
       Tahapan keduapun selesai. Aku tinggal menungu tahapan ketiga yaitu, tahap pengcekan jantung yang rencananya akan dilaksanakan besok pagi jam delapan. Lantas aku merebahkan tubuhku diatas bed. Yach, kurasakan dalam dadaku tiba-tiba muncul perasaan gelisah yang teramat. Debaran detak jantungku terasa mengguncang-guncangkan dadaku. Aku tidak mengerti, kenapa tiba-tiba seperti ini? Entahlah, kenapa hatiku terasa mencekam tidak karuan? Hatiku sangat risau. Tapi anehnya, kerisauan hati yang kurasakan ini bukan lagi aku takut menghadapi operasi yang selama ini ingin aku hindari, dan amat menakutkanku, tapi sebuah kerisauan hati yang muncul yang begitu tiba-tiba, dan amat mencekam hatiku. ‘ I really don’t know suddenly why rising so restlesness from the bottom of my heart?’
       Dari kaca jendela, nampak kulihat dua perawat perempuan menuju kamarku yang masing-masing ditanganya membawa tas kresek. Yang satu aku sudah sangat mengenalinya, Mustika Devi, dan setelah mendekat aku lihat dikepleknya ternyata yang satu lagi bernama, Afi Nazila. Seperti biasanya mereka langsung masuk, dan tersenyum ramah padaku. “ Nich, Mas ada titipan! Dimakan, ya!”,  “Dari siapa...?” tanyaku antusias. Tapi anehnya kedua perawat itu tidak menjawab, justru keduanya saling memandang seperti menyembunyikan sesuatu padaku. Lantas mereka  tersenyum dan langsung meninggalkanku.
       Dengan hati yang terus gelisah, aku membuka kresek titipan dari perawat tersebut. Ternyata berisi buah-buahan. Ada beberapa apel merah new zeland, apel yuan, dan anggur hijau beserta pisaunya sekalian. Sedang kresek yang satunya berisi bungkusan yang baunya sangat familiar dihidungku, dan oh...God! Ternyata benar berisi makanan kesukaanku yaitu cap jay yang masih panas. Tapi darimana...? Dan dari siapa...? Ah..., semakin membuat hatiku gundah dan risau saja. Penasaran! Yang jelas orang ini pasti kenal dekat denganku, sampai tahu makanan kesukaanku. Saudarakukah? Temankukah? Atau...? Tapi kenapa koq tidak menemuiku? Ah..., hatiku semakin mencekam, dan pikiranku semakin kacau…!
       Jarum jam menunjukan angka dua.Suasana mulai hening.Aktivitas mulai berkurang. Dan hanya beberapa perawat saja yang lalu lalang. Kebanyakan pasien juga sudah mulai tidur. Larut malam memang. Tapi aku semakin larut pula  dalam kegelisahan hatiku. Mataku tidak sempat merasakan ngantuk, malah sebaliknya. Walaupun sebenarnya aku teramat letih. Perjalanan dari Mojokerto ke kota ini cukup jauh. Serta menjalani serangkaian prosesi tahapan menjelang operasi, namun semua itu terasa hilang dan lenyap termakan  kegelisahan hatiku yang teramat menyiksaku. Dari dalam kamar nampak kuperhatikan setiap kali perawat atau dokter yang lewat didepan kamarku , mereka selalu menyempatkan untuk meliriku. Bahkan ada beberapa orang dokter sengaja menjenguku. Mereka rata-rata mengajak berbincang denganku dan selalu mengorek tentang keberadaan dan latar belakangku. Buktinya mereka tahu kalau aku pernah tinggal di Manyar, Bratang Binangun, bahkan terakhir di Rungkut surabaya ini, saat aku masih kuliah. Mereka juga mengetauhi latar belakang pekerjaanku, sebelum aku menjadi seorang guru. Mereka dokter Bunhi dan Hadi. Usianya tidak jauh denganku. Mereka diatasku sedikit, tapi bisa dikatakan sebaya. Begitu juga dua orang dokter perempuan, Martha dan Lilin. Mereka juga seperti dokter – dokter lainya, rupanya juga sudah mengenalku. Namun anehnya, disela-sela percakapanku dengan mereka, disetiap aku bertanya siapa nama dokter  yang akan mengoperasi penyakitku nanti, tapi untuk kedua kali pertanyaanku ini, tidak dijawab juga. Mereka hanya menjawab dengan singkat ‘surgery  atau spesialis ahli bedah’.Terus buru-buru meningalkanku. Lantas dengan spontanitas aku ingat seseorang, ah...Tidak! segera aku melepas anganku jauh keatas langit. Dan kesekian kali pula rasa penasaranku semakin menumpuk, dan semakin membuat gelisah hatiku.Perasaanku  makin mencekam. Aku berusaha menenangkan diriku. Namun kegelisahan  semakin mendera sekujur tubuh ini. Aku berusaha memejamkan mataku. Aku tutup mataku dengan saputangan agar sorot lampu tidak menerpa mataku,dengan harapan agar mataku bisa lekas terpejam. Tetapi tetap tidak bisa. Aku bebar-benar seperti cacing kepanasan. Sangat tidak nyaman dan risau.
       Samar-samar aku dengarkan derap langkah semakin mendekati kamarku, dan langkah itu rupanya terhenti sejenak didepan pintu kamarku, lantas kangkah itu kembali menjauhi kamarku. Entahlah....siapa lagi itu!
Ya …Tuhan tenangkanlah jiwa dan hatiku dari kegalauan ini, karena aku akan menghadapi operasi! Pekiku dalam hati.Karena aku benar – benar tidak betah dan tidak  tahan menahan  kerisauan hati yang mendera ini.
     Walaupun dengan kerisauan yang mendera sekujur tubuhku, akhirnya malam itu bisa aku lalui.Namun  sedikitpun mataku tidak  terpejam. Jam lima pagi ada petugas yang memberitahuku bahwa aku harus puasa sebelum operasi, atau lebih tepat aku harus mengosongkan perutku.  Sebuah syarat yang harus dilakukan sebelum aku menjalani operasi. Tidak masalah buatku. Karena aku bisa menjalaninya dengan mudah. Ini mungkin merupakan tahapan terakhir karena semua tahapan telah aku lakukan. Waktupun terus berjalan, jam tigabelas tepat ternyata masih ada syarat lagi yang harus aku lakukan  yaitu, aku diberi semacam kapsul untuk benar – benar bisa menggelontor  seluruh isi perutku. Setelah perutku benar- benar sudah kosong , aku berbaring di bed dan munculah  Afi dan Aulia perawat yang sudah aku kenal. Mereka  bekerja sama mulai menancapkan jarum cairan di sekitar pergelangan tanganku. Tubuhku lemas dan aku males dan tidak bicara apapun dengan mereka.
     Jam tujuhbelas tepat perawat memberitahuku akan operasi. Segera Aulia mendorongku dengan kursi roda menuju ruang opereasi. Aku berusaha tegar  menjalani oprasi yang amat menakutkan bagiku ini. Ada perasaan takut, ngeri, miris. Tapi perasaan itu semua telah tertutupi perasaanku sendiri yang merasa penasaran pada diriku sendiri. Karena disetiap lorong  dan disetiap ruang yang aku lewati menuju ruang operasi, kulirik kanan kiri para perawat dan beberapa dokter yang sedang praktik mereka semua pada melihatku. Seperti ada yang aneh padaku. Aku semakin heran dan penasaran. Yach, ada apa denganku? Atau mereka sudah mengenalku! Darimana?
     Lantas sampailah diruang operasi. Aulia mengantarku hanya sampai depan pintu ruang operasi. Sebab didalam sudah ada petugas lain yang menanganinya. Terus aku harus menanggalkan semua pakaian yang aku kenakan. Segera aku barbering di atas bed yang hanya tertutup oleh kain warna hijau, dan langsung didorong oleh  perawat menuju ruang operasi….(kurang)
     “Apa kabar, Mas?”                                                                                                                                “Sao Chun!” Kataku lirih. Sspontan dadaku terasa sesak. Nafasku serasa terhenti. Tenggokanku terasa kering dan berat seperti dibebani gelondongan batu yang besar hingga aku tak mampu berkata apa- apa. Mataku tajam menatapnya. Namun seketika itu pula terasa keruh dan melelehkan buliran air mata ini.                                             “Maafkan Aku, Chun!, Aku minta maaf!”  Kataku terbata-bata.                                                                              ‘Tidak Mas!, Tidak!...Kamu tidak bersalah!”, Kata Sao Chun tegas.                          Senyumnya menghiasi wajahnya, dan matanya lembut menatapku.                                   ‘’’Mas, tidak perlu minta maaf padaku. Kamu tidak pernah bersalah padaku. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Seperti juga aku, tidak akan minta maaf padamu. Sebab kita telah menjalani prosesi cinta  yang benar. Cinta yang bermartabat. Cinta yang indah dan agung . Karena kita bisa menjaga keindahan, dan keagungan cinta itu tanpa merusak kesucian cinta itu sendiri. Kamu  sangat menghormati aku. Begitu juga aku, juga sangatmenghormati dirimu. Sehingga aku dan kamu dalam menjalani prosesi cinta ini selalu dijaga malaikat untuk tidak melakukan sesuatu yang sebenarnya sama-sama kita inginkan. Karena kalau kita mau jujur, waktu ada, tempat tersedia, kondisi mendukung,dan kesempatanpun memungkinkan bagi kita untuk saling melepaskan keinginan atas nama cinta. Tapi tidak! Hal itu tidak pernah terjadi diantara kita. Sebab kamu talah mengajariku tentang cinta yang sejati, dan telah kau buktikan itu dihadapan papa dan mamaku selama ini.
       Mungkin kamu bertanya-tanya siapa yang mengirim makanan kesukaanmu, buah kesukaanmu, atau kenapa kamu pindah ke ruang VVIP ini? Itu semua karena aku. Aku yang mengaturya. Yach…, Aku  Sao Chun, adikmu. Yang selama ini kamu banggakan. Kekasihmu yang selama ini kamu rindukan. Kau cintai. Dan kini menjadi seorang dokter. Seorang ahli bedah. Sebuah profesi yang kau impikan. Kamu dambakan pada  adikmu ini. Dan kini menjadi kenyataan. Kamulah orang yang  paling berperan  paling dan dominan yang mampu menentukan arah kehidupanku. Kamulah orang yang membangun karakterku. Dan kamu pula yang menginspirasiku, mendorong , dan mengantarku menjadi seorang dokter.
     Yach, kamu bagai matahari bagiku, yang selalu muncul di pagi hari dan terbenam di sore hari. Kau memberikan kehangatan dengan cinta dan kasihmu.  Kamu memberikan semangat disetiap waktu. Memotivasku kearah yang lebih maju. Kamu dengan setia selalu menemaniku kemana arahku pergi. Kamupun selalu setuju kemana aku mau. Kamu selalu membuat hatiku merasa damai bahagia. Membuat hatiku selalu berseri-seri. Hatiku selalu tersenyum dan berbunga-bunga karena aku menjadi kekasihmu.
    Yach, kurasa kamu memang tidak pernah berdusta pada diriku. Kamu tidak pernah membohongiku. Janjimu selalu kamu tepati. Apa yang kamu ucapkan selalu jadi kenyataan. Bahkan kenyataan yang kamu berikan pada diriku jauh lebih indah kurasakan dari sekedar janji yang kau ucapkan pada diriku ini. Itulah yamg membuat sesak nafasku, jiwaku gundah, hatiku letih dan lunglai bila aku jauh darimu.
     Cinta yang kau tanamkam dihatiku, merupakan cinta yang sejati yang melekat begitu dalam  dihatiku. Bunga cinta yang kau tanam dihatiku  tumbuh indah dan begitu subur mengihiasi relung hatiku. Ruang hatiku penuh dengan benih cinta yang kau semaikan sejak aku masih belia. Dan dengan penuh tulus dan ikhlas, serta penuh kasih sayang aku menjaga dan merawat  benih cinta yang kau semayamkan di hatiku ini.
     Darah yang mengalir ditubuhku ini penuh dengan cinta kasihmu. Jiwa, dan sekujur tubuhku ini penuh dengan warna-warni cinta darimu. Cintamu memang telah kurasakan menyatu dan mengalbu dalam tubuhki ini. Sehingga tidak mungkin aku bisa terlepas bayang-bayang cintamu, dan aku memang tidak ingin melepaskan bayangan itu.Biarlah abadi dalam diriku, dan tentu pada dirimu pula.
     Aku sadar  yang sempurna hanya Tuhan. Tapi kamu begitu sempurna dimataku. Kamu bisa berperan sebagai seorang  teman yang bisa membuat hatiku riang dan senang. Kau bisa menjadi seorang kakak yang baik yang selalu menuruti kemauan adiknya.Membuat adikmu ini selalu tersenyum. Dan kamu tentu telah membuktikan bahwa kamu bisa menjadi seorang kekasih yang bertanggungjawab. Kekasih yang setia, tempat aku bermanja, tempat aku berteduh, dan tentu tempat mengadu kasih dan sayang. Kamu selalu memberi semangat dan pengertian akan pentingnya ilmu pengaetauan sebagai bekal kehidupan di masa mendatang. Kamu selalu bilang hanya ilmu yang mampu membuat orang bermartabat, berbudi, dan bisa mencapai kebahagiaan yang hakiki, kebahagiaan yang riil. Dan hanya dengan ilmu pula orang bisa disegani dan dihormati. Dan itu yang dianjurkan oleh agama. Yach, itu semua kata-katamu, dan hal itu pula yang semakin membuat aku mabuk padamu. 
     Mungkin kalau kamu tidak menyarankanku untuk melanjutkan kuliah di Amerika, bahkan kamulah yang memilihkan aku masuk di Colorado university. Dan kenyataanya universitas terkemuka disana. Aku bangga kuliah disana. Apalagi kamu yang memilihkanya. Kalau bukan kamu, tentu aku lebih memilih kuliah disini, di Unair.  Biar kamu kalau punya waktu luang bisa mengantarku. Atau kalau kamu sepulang kerja kamu bisa menjemputku. Itulah yang aku harapkan darimu. Bahkan mama dan papa menyarankan kitra untuk bertunangan. Biar jalinan antar keluarga kita lebih akrap. Biar kalau kamu keluar masuk rumahku tidak menimbulkan prasangka buruk. Atau kalau aku sering ikut kerumahmu, bahkan sering kali bermalam disana tidak menimbulkan fitnah dimasyarakat. Sebenarnya ide mama dan papa itu sangat baik, karena demi kebahagiaan anaknya, dan tentu demi kamu pula sebagai calon pendamping anaknya.Mama dan papa selalu bilang padaku, bahwa kamulah orang yang tepat yang menjadi tumpuhan dan harapan mama dan papa yang akan mendampingiku. Harapan terbentang luas pada dirimu yang senantiasa selalu menyayangiku. Yang selalu menjaga dan melindungiku dengan perisai cintamu. Dan yang selalu membuat hatiku tersenyum bahagia dalam menjalani prosesi cinta dalam kehidupan yang nyata ini. Dan kamu pula yang nyata-nyata menjadi tempat bersemayanya cinta yang sejati dalam hatiku ini.          
    Tapi kamu saat itu tidak menjawab gagasan mama dan papaku agar kita bertunangan. Malah kamu tersenyum memandangku. Kamu mendekat dan memeluku di hadapan mama dan papaku. Beliau terkesima. Begitu juga aku. Mereka tersenyum senang dan bangga padamu. Aku bahagia sekali saat itu. Karena kamu tidak pernah melakukan hal itu padaku. Apalagi dihadapan papa dan mamaku. Tapi aku tahu maksudmu, kau ingin menunjukan pada papa dan mama bahwa tanpa bertunangan terlebih dahulu, kau tidak akan pernah menyusutkan cintamu padaku. Dan kau menunjukan kesungguhan hatimu pada adikmu ini. Atau kau ingin membuktikanbahwa cinta dan hatimu hanya untuku. Atau mungkin kamu juga tidak ingin berpisah dengan adikmu yang kau cinta ini.     
   Tapi saat itu kamu bilang, papa- mama  saya berjanji seusainya adik Sao chun menjadi seorang dokter, saya akan meminangnya. Saya akan melamarnya. Akan saya buktikan janji saya dalam sebuah tahta yang suci dan agung  sesuai dengan harapan papa dan mama dan tentu ibu saya.  Saya berjanji, saya akan seklalu mendampinginya. Saya akan menyertainya. Saya akan bahagiakan sepenuh hati dan jiwanya. Dan tentu seluruh hati dan jiwa saya pula. Sebenarnya tidak hanya mama, papa yang takut jauh dengan adik Sao Chun, tapi saya yang biasa menemaninya, yang setiap saat bersama saya. Sungguh teramat berat dan rasanya juga tidak kuat jauh darinya. Tapi saya harus berfikir . Tapi demi cita – cita kami berdua yang selama ini kami rencanakan. Demi obsesi kami berdua yang telah kami kobarkan. Demi cinta kami berdua yang selama ini kami bina. Demi masa depan kami berdua, dan untuk kebahagiaan kami berdua kami mohon ijinkan dia untuk berangkat melanjutkan study-nya. Dan saya yakin, berkat cinta kami berdua, berkat ketulusan kami berdua, dan tentu berkat itikat baik kami berdua, serta doa restu mama, papa, dan orang tua saya, kami akan mencapai kebahagiaan yag hakiki dalam mengarungi kehidupan ini. Dan saya sudah berikrar dalam hati saya, saya akan selalu bersama, mendampingi dan menyertai, serta akan membhagiakan adik Sao Chun lahir dan batin sampai kapanpun.                                                  
    Aku saat itu mendengarkan kata-katamu dengan seksama. Dalam hatiku kurasakan geemuruh yang tidak menentu. Aku merasa  sedih, bingung, dan gembira. Gimana rasanya jauh darimu. Padahal jujur saja kalau aku sehari saja tidak ketemu kamu, bukan hanya aku, tapi mama, papa menanyakan kamu. Sudah tilpon apa belum. Kenapa belum tilpon dan seterusnya. Apalagi aku…?Sungguh tidak bisa aku lukiskan betapa aku saying padamu. Hatiku nenar- benar telah menyatu dengan jiwamu. Kamu telah mehjadi bagian dari hidupku yang tidak mungkin bisa terpisahkan. Namun saat mendengarkan kata-katamu jiwaku terasa tentram bagai pelangi indah yang menerangi hatiku.
    Maka tidak ada alasan bagiku untuk tidak pergi ke Amerika untuk melanjutkan kuliahku, untuk meraih gelar dokter yang kau impikan. Karena semua ini demi kamu.Demi aku. Dan tentu demi kebahagiaan kami berdua. Kamu pernah bilang padaku  saat itu, kalaupun aku sudah menjadi seorang dokter, aku harus selalu membuatkan kopi untukmu kalau aku telah menjadi istrimu. Juga harus masak untuk dirimu. Aku geli endengarkan kata-katamu. Tapi senang. Namun, jauh dalam hatiku, aku memang telah berikrar dalam kalbuku, akan kuwujudkan dan kubuktikan kesetiaanku padamu. Akan kupersembahkan cinta dan hatiku padamu. Jiwa dan ragaku untuk suamiku, yaitu dirimu. Aku ingin menjadi seorang istri yang taat dan patuh pada suami. Menghargai dan menghormati suami. Serta jujur dan setia mendampingi suami. Aku menginginkan kau selalu bahagia bersamaku. Seperti dulu kau selalu membahagiakanku. Itulah  janji hatiku padamu.
     Yach, kalau aku ingat pertama kali aku ketemu dengamu, seperti sebuah fenomena klasik tapi artistik  yang mampu mendekatkan diriku denganmu. Semua berjalan begitu tiba-tiba. Begitu spontanitas, dan tidak pernah terpikirkan olehku, ataupun aku juga tidak pernah membayangkan kalau aku akan ketemu denganmu….Saat itu dikampusmu menggelar seminar ‘bahaya free-sex dan narkoba’ yang pembicaranya, dr naek L. Tobing, dr. Boyke dan kapolda. Saat itu kamu sebagai pembawa acara. Sedang aku dan lima orang temanku mewakili sekolahku. Kuperhatikan kamu dengan tenang , prcaya diri, dan Nampak nyaman membawakan acara tersebut. Teman-temanku pada berisik dan berbisik bukan membicarakan materi seminar atau mendengarkan pembicara, melainkan  membicarakan dirimu. Karena kamu memang menarik dan pantas menjadi objek bagi teman-temanku.  Tapi anehnya disetiap temanku membicarakanmu, ada rasa nyeri dihatiku. Yach, nyeri itu buktiawal tumbuhnya benih cinta dihatiku,  yang tentu untuk dirimu yang secara diam-diam muncul menghiasi relung hatiku tanpa sepengetauhanmu. Semakin aku memandang dirimu,  semakin risau resah hatiku. Itulah pertama kali aku merasakan cinta, mengenal cinta, dan tentu cinta itu hanya untukmu.
     Seusai seminar belum juga hilang debaran hatiku karenamu, entahlah angin apa yang mendorongmu hingga kakimu buru-buru melangkah mengahampiriku. Nyamperin aku. Seperti mimpi aku saat itu, orang yang kusimpan  dalam hatiku benar-benar berada didepanku. Aku merasakan gemetar seluruh tubuhku. Hatiku berdebar. Tapi senang dekat denganmu. Kau ulurkan tanganmu dan kubalas dengan jabatan tangaku. Bibirku terasa beku. Wajahku spontan memerah karena  bercampur aduk antara, rasa malu, berdebar, dan suka bergumul jadi satu dalam hatiku. Itulah yang kurasakan saat itu. “Siapa namamu?”   “Sao Chun”,  jawabku. “Namamu bagus seperti orangnya”.    Ya Tuhan! Seperti aku mengenggam bianglala. Hatiku berbinar-binar kegirangan karena mendapat pujian dari seorang mahasiswa yang wajahnya telah menyusup dihatiku. Bersemayam disana . tapi saying kita tidak bisa ngobrol lebih lama karena kamu keburu dipanggil dosenmu. Yang pasti pertemuan singkat denganmu saat itu  sangat berarti bagiku. Mewarnai hidupku. Akku tidak munafik, sejak itu aku sering gelisah dan risau. Aku sering melamun. Ada rasa rindu dihatiku. Yang semua itu karenamu. Karena tanpa kusadari dihatiku telah tumbuh benih=benih cinta dihatiku. Aku sangat berharap untuk bisa bertemu dengan kamu lagi. Bisa ngobrol lebih lama. Tapi itu sulit karena karena kamu di kampus dan aku masih disekolah. Lagipula kamu juga tidak memberitahu  nomor tilpon atau aku juga tidak memberimu alamat untuk berkomnikasi. Yach, aku sering gelisah. Akankah benih cinta yang tumbuh dihatiku akan bisa berkembang degan indah. Bisa berbunga sehingga kita  bisa memetiknya sama-sama. Bisa merawatnya sama-sama. Bisa menikmati harumnya sama-sama. Ataukah akan layu, kering, dan mati karena kamu tidak pernah kembali untuk menyirami dan merawatnya. Hatiku kacau dan tidak nyaman dimanapun aku berada.
     Suatu ketika aku ingin ke kampusmu untuk menemuimu.karena aku merasa tidak betah menanggung kegelisahan ini. Namun rasa malu menggelayut disekujur tubuhku, hingga terasa berat langkahku untuk menemuimu. Ya..tuhan! Inikah yang dinamakan cinta ataukah aku sedang mabuk cinta.
     Dua minggu sudah sejak aku ketemu kamu dikampusmu. Mungkin hanya segitu pertemuanku denganmu.  Tak kurang dan tak lebih. Sederhana, singkat, namun menyisakankeletihan  hati yang mendalam bagiku, karena cinta tak lagi berkembang. Biarlah!
     Siang itu jam dua belas. Seperti biasa aku istirahat kedua. Aku ke kantin bersama teman-temanku. Namun pesananku mie kuah belum diantar, janitor buru buru memanggilku katanya ada tamu. Dadaku berdebar. Jantungku mendadak berdenyut kencang. Tubuhku keluar keringat dingin. Ada apa? Hatiku gelisah penuh tanya. Aku berlari, buru-buru menuju ruang tamu yang tak jauh dari kantor. Hatiku semakin gelisah penuh tanya. Kalau papa atau mama, biasanya langsung tilpon. Lantas?.. Ya..Tuhan, Kamu..duduk sendiri menungguku. Aku seraya tak percaya dengan apa yang aku lihat. Nafasku seraya terhenti. Sejenak aku bediri mematung. Terperanga memandangmu.  Lantas aku bisa menguasai diriku dan aku langsung duduk dihadapanmu. Perasaan gemetar, malu tapi senang bergumul jadi satu dalam hatiku.
     “Apa kabar, Chun?”
“Baik Mas!”

     “Aku ngganggu,ya?”
“Tidak mas! Aku lagi istirahat.”
     “Chun, sebenarnya tempo hari aku ingin ngobrol lebih lama denganmu, Cuma saat itu ada beberapa laporan yang mesti harus aku kerjakan sebagai panitia. Tapi aku sempat melihat asal sekolahmu melalui atribut  yang kamu kenakan. Yach…., daripada aku memenjarakan hatiku, atau aku harus berdusta pada diriku sendiri, lantas aku sempatkan bertandang kesini untuk menemuimu.
“Maksud Mas?”
     “Ya, jujur saja. Aku suka kamu. Aku sayang kamu. Dan aku mencintaimu, Chun!”           “Ya Tuhan! Spontan bunga cinta yang ada di hatiku jadi tumbuh dengan begitu indah. Kurasakan hatiku tesenyum begitu riang. Diriku seraya melayang di awan hingga mataku yang senang memandang wajahmu tidak terasa menetes perlahan airmata membasahi pipiku. Yach, airmata bahagia. Karena orang yang aku rindukan selama ini akan menyatukan dua hati insan manusia yang sedang kasmaran , tentunya diriku dan dirimu.
      Lantas kamu berdiri memberikan kartu nama padaku. Terus kamu meninggalkan aku dan sebelunya kamu pamit dulu ke kantor.  Aku kembali ke teman-temanku dengan hati riang . Mataku berbinar-binar. Auraku mengisaratkan hatiku amat berbunga. Teman-temanku heran. Kenapa aku nampak girang dan seriang itu. Kemudian aku ceritakan bahwa tamu yang mencari aku tadi adalah kamu yang sering aku bicarakan dengan mereka, dan aku bilang,kamu mengucapkan cinta padaku. Tapi sayang teman-temanku tidak ada yang percaya. Ok.. kita lihat saja nanti. Kataku pada teman-temanku saat itu.    
     Dan suatu ketika, kamu menelpon aku bahwa kamu akan menjemputku. Tentu aku senang sekali. Aku langsung tilpon sopirku agar tidak menjemputku. Karena aku tentu lebih senang naik sepeda denganmu. Walaupun terik matahari amat menyengat kulitku di kota Surabaya ini, namun terasa sejuk dan nyaman  karena terbiaskan indahnya sekujur tubuhku naik sepeda bersamamu. Aku benar-benar bisa merasakan betapa indahnya dunia saat bersamamu. Lagipula obsesiku terwujud dan akan kubuktikan pada teman-temanku kalau aku bisa jalan bareng bersamamu.     
       Ternyata kamu tidak langsung mengantarku pulang, tapi kamu mengajaku ke tempat kostmu. Aku kamu kenalkan dengan teman-temanmu. Dan teman-temanmu tadi rupanya sengaja menunggu kedatanganmu denganku. Kamu rupanya juga memang telah berjanji akan mengenalkanku dengan mereka. Makanya ketika aku datang bersamamu, teman-temanmu langsung menebak kalau aku adalah kekasihmu. Aku senang mendengarnya, karena aku memang benar kekasihmu. Mereka memuji kita berdua. Aku dan kamu memang merupakan pasangan yang serasi. Dan entachlah.. sekarang dimana saja temanmu yang selalu baik padaku dan suka sekali menggodaku bila aku bertandang ke tempat kostmu. ….[Sorry Penulis belum sempat melanjutkan….tp segera beredar ]                                                                                                                                           
    
     

0 comments:

Post a Comment

 
Design by http://4-jie.blogspot.com/ | Bloggerized by Fajri Alhadi